Sabtu, 19 Maret 2011

Bagaimana seorang Muslim berpikir?

"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.
(QS. Aali ‘Imraan, 3:191)


Pernahkah anda memikirkan bahwa anda tidak ada sebelum dilahirkan ke dunia ini; dan anda telah diciptakan dari sebuah ketiadaan?
Pernahkan anda berpikir bagaimana bunga yang setiap hari anda lihat di ruang tamu, yang tumbuh dari tanah yang hitam, ternyata memiliki bau yang harum serta berwarna-warni?
Pernahkan anda memikirkan seekor nyamuk, yang sangat mengganggu ketika terbang mengitari anda, mengepakkan sayapnya dengan kecepatan yang sedemikian tinggi sehingga kita tidak mampu melihatnya?
Pernahkan anda berpikir bahwa lapisan luar dari buah-buahan seperti pisang, semangka, melon dan jeruk berfungsi sebagai pembungkus yang sangat berkualitas, yang membungkus daging buahnya sedemikian rupa sehingga rasa dan keharumannya tetap terjaga?
Pernahkan anda berpikir bahwa gempa bumi mungkin saja datang secara tiba-tiba ketika anda sedang tidur, yang menghancur luluhkan rumah, kantor dan kota anda hingga rata dengan tanah sehingga dalam tempo beberapa detik saja anda pun kehilangan segala sesuatu yang anda miliki di dunia ini?
Pernahkan anda berpikir bahwa kehidupan anda berlalu dengan sangat cepat, anda pun menjadi semakin tua dan lemah, dan lambat laun kehilangan ketampanan atau kecantikan, kesehatan dan kekuatan anda?
Pernahkan anda memikirkan bahwa suatu hari nanti, malaikat maut yang diutus oleh Allah akan datang menjemput untuk membawa anda meninggalkan dunia ini?
Jika demikian, pernahkan anda berpikir mengapa manusia demikian terbelenggu oleh kehidupan dunia yang sebentar lagi akan mereka tinggalkan dan yang seharusnya mereka jadikan sebagai tempat untuk bekerja keras dalam meraih kebahagiaan hidup di akhirat?
Manusia adalah makhluk yang dilengkapi Allah sarana berpikir. Namun sayang, kebanyakan mereka tidak menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan pada kenyataannya sebagian manusia hampir tidak pernah berpikir.
Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Buku ini ditulis dengan tujuan mengajak manusia "berpikir sebagaimana mestinya" dan mengarahkan mereka untuk "berpikir sebagaimana mestinya". Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia. Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an:

"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Ad-Dukhaan, 44: 38-39)
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. Al-Mu’minuun, 23:115)

Oleh karena itu, yang paling pertama kali wajib untuk dipikirkan secara mendalam oleh setiap orang ialah tujuan dari penciptaan dirinya, baru kemudian segala sesuatu yang ia lihat di alam sekitar serta segala kejadian atau peristiwa yang ia jumpai selama hidupnya. Manusia yang tidak memikirkan hal ini, hanya akan mengetahui kenyataan-kenyataan tersebut setelah ia mati. Yakni ketika ia mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di hadapan Allah; namun sayang sudah terlambat. Allah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa pada hari penghisaban, tiap manusia akan berpikir dan menyaksikan kebenaran atau kenyataan tersebut:

"Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." (QS. Al-Fajr, 89:23-24)

Padahal Allah telah memberikan kita kesempatan hidup di dunia. Berpikir atau merenung untuk kemudian mengambil kesimpulan atau pelajaran-pelajaran dari apa yang kita renungkan untuk memahami kebenaran, akan menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan di akhirat kelak. Dengan alasan inilah, Allah mewajibkan seluruh manusia, melalui para Nabi dan Kitab-kitab-Nya, untuk memikirkan dan merenungkan penciptaan diri mereka sendiri dan jagad raya:

"Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." (QS. Ar-Ruum, 30: 8)
Berpikir Secara Mendalam


Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan: "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29). Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti "ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai:

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A’raaf, 7: 205)

"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)

Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-Mu’minuun, 23: 84-90)


Berpikir dapat membebaskan seseorang dari belenggu sihir

Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, "…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir berarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara, kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca, produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus? Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana "kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur'an :

"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)

Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram. Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan setiap saat.


Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun

Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus. Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang.
Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam, ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua suatu hari akan mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah berakhir?"
Orang yang memikirkan hal-hal semacam ini lah yang dinamakan orang yang berpikir dan mencapai kesimpulan yang sangat bermakna dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika mendadak ditanya,"Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?", maka akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang bisa juga "berpikir" hal-hal yang "bermakna", "penuh hikmah" dan "penting" setiap saat semenjak bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali ‘Imraan, 3: 190-191).

Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan Allah.


Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan
diri kepada Allah

Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :

"Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir, 40: 13).

Tentang Apakah Manusia Biasanya Berpikir?


Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak berpikir sebagaimana seharusnya mereka berpikir dan tidak mengembangkan sarana dan potensi berpikir mereka. Namun ada satu hal lagi yang penting untuk dijelaskan di sini. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal tertentu selalu terlintas dalam benak manusia setiap saat sepanjang hidupnya. Hampir tidak ada masa, kecuali ketika tidur, dimana pikiran manusia benar-benar kosong. Sayangnya, sebagian besar dari pikiran-pikiran ini tidak berguna, "sia-sia" dan "tidak perlu", sehingga tidak akan bermanfaat di akherat kelak, tidak menuntun ke arah yang benar dan tidak mendatangkan kebaikan kepadanya.
Andaikata seseorang berusaha untuk mengingat apa-apa yang telah dipikirkannya pada suatu hari, lalu mencatat dan memeriksanya dengan seksama di penghujung hari tersebut, ia akan melihat betapa sia-sianya kebanyakan dari apa yang telah ia pikirkan. Andaikata ia menemukan sebagian dari padanya bermanfaat, maka boleh jadi ia tertipu. Sebab secara keseluruhan, pikiran-pikiran yang menurutnya benar adakalanya ternyata tidak akan mendatangkan keuntungan sedikitpun di akhirat.
Seperti halnya membuang waktu dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia dalam kehidupan sehari-hari, manusia adakalanya pula menghabiskan waktunya secara sia-sia dengan terbawa oleh pikiran-pikiran yang tidak bermanfaat. Dalam ayat: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman…yaitu…(dan) orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna" (QS. Al-Mukminun, 23 :1&3) Allah mengajak manusia agar bersungguh-sungguh dalam masalah ini. Sudah pasti bahwa perintah Allah di ayat tersebut juga berlaku dalam hal berpikir. Sebab pikiran-pikiran yang tidak terkendali akan terus-menerus mengalir dalam benak seseorang. Seseorang dengan sadar mengalihkan pikirannya dari satu hal ke hal lain. Ketika sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, seseorang memikirkan rencana untuk berbelanja. Mendadak kemudian ia berpikir tentang hal lain, yakni apa-apa yang pernah dikatakan temannya satu atau dua tahun yang lalu. Pikiran yang tidak terkontrol dan tidak berguna ini dapat berlangsung terus-menerus sepanjang hari. Padahal, yang kuasa mengontrol pikiran-pikiran tersebut adalah dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan dirinya; meningkatkan keimanan, kemampuan berpikir, perilaku; serta memperbaiki keadaan sekelilingnya.
Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yang pada umumnya cenderung dipikirkan oleh mereka yang berada dalam kelalaian. Alasan mengapa masalah tersebut dijelaskan secara panjang lebar adalah agar orang-orang yang lalai, dan yang membaca buku ini, segera menyadari bahwa ketika di kemudian hari peristiwa yang sebagaimana disebutkan di buku ini terlintas dalam benak mereka ketika dalam perjalanan ke tempat kerja atau ke sekolah; atau ketika sedang melakukan pekerjaan yang rutin, mereka tidak lagi berpikir tentang hal-hal yang sia-sia. Sebaliknya mereka akan mampu mengendalikan pikiran-pikiran mereka dan berpikir segala sesuatu yang benar-benar berguna bagi diri mereka.

Khayalan yang tidak bermanfaat

Ketidakmampuan dalam mengendalikan pikiran ke arah yang baik akan mengakibatkan seseorang seringkali merasa khawatir atau mengalami peristiwa-peristiwa yang sebenarnya belum terjadi seolah-olah telah terjadi dalam benaknya, dan terseret dalam kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan.
Misalnya, orang tua yang mempunyai anak yang tengah belajar untuk menghadapi ujian kadangkala membuat sebuah skenario sebelum ujian tersebut berlangsung dalam benaknya: "Apa yang akan terjadi jika anaknya tidak lulus ujian? Jika anak laki-lakinya tidak memperoleh pekerjaan yang layak di masa depan, mendapatkan penghasilan yang cukup, maka ia tidak dapat menikah. Kalaulah ia menikah, bagaimana ia dapat membiayai pernikahannya? Jika ia tidak lulus ujian, semua uang yang dikeluarkan untuk persiapan ujian tersebut akan terbuang percuma. Tambahan lagi, ia akan terhina di mata orang-orang. Apalagi jika anak laki-laki teman dekatnya ternyata lulus sedang anaknya sendiri gagal…"
Khayalan-khayalan tersebut terus berkembang, padahal anaknya belum melaksanakan ujian. Seseorang yang jauh dari agama akan mudah terbawa oleh khayalan sia-sia yang serupa sepanjang hidupnya. Hal ini tentu ada sebabnya. Al-Qur'an menyebutkan bahwa yang menyebabkan manusia terbelenggu oleh khayalan atau angan-angan kosong adalah dikarenakan mereka membiarkan telinga mereka dibisiki oleh syaitan:

"Dan aku (syaitan) benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka ..." (QS. An-Nisaa’, 4: 119)

Sebagaimana termaktub dalam ayat di atas, mereka yang terbawa oleh khayalan kosong, akan melupakan Allah, tidak berpikir, dan senantiasa menerima bisikan-bisikan syaitan. Dengan kata lain, jika seseorang yang tertipu oleh kehidupan dunia tidak menggunakan kekuatan tekad mereka, tidak bertindak secara sadar dan berusaha meninggalkan kondisi yang demikian, ia akan berada dalam kendali syaitan secara penuh. Satu diantara pekerjaan syaitan yang patut diketahui adalah senantiasa menimbulkan keragu-raguan dan khayalan-khayalan kosong dalam diri manusia. Oleh karena itu, segala khayalan, perasaan putus asa dan kekhawatiran seperti: "apa yang akan saya perbuat jika akan terjadi yang demikian" terbentuk dalam benak seseorang akibat bisikan-bisikan syaitan.
Allah telah memberikan jalan keluar dari keadaan yang buruk ini. Dalam Al-Qur'an, ketika niatan-niatan jahat syaitan melingkupi manusia, mereka dianjurkan untuk minta perlindungan kepada Allah dan mengingat-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)" (QS. Al-A’raaf, 7: 201-202)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, mereka yang berpikir akan dapat mengetahui mana yang benar, sebaliknya mereka yang tidak berpikir akan menuju ke arah mana saja syaitan menyeret mereka.
Yang terpenting adalah mengetahui bahwa khayalan-khayalan semacam ini tidak akan mendatangkan manfaat kepada manusia. Bahkan sebaliknya, menghambat mereka dari memikirkan tentang kebenaran, hal-hal yang penting; dan mencegah kebersihan akal dari segala hal yang sia-sia. Manusia mampu berpikir secara benar jika akalnya telah bebas dari pikiran yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Dengan demikian, mereka "menghindarkan diri dari apapun yang tidak bermanfaat" sebagaiman Allah perintahkan dalam Al-Qur'an.
Faktor-faktor Apakah Yang Menyebabkan
Manusia Tidak Mau Berpikir?


Ada banyak sebab yang menghalangi manusia untuk berpikir. Satu, atau beberapa, atau semua sebab ini dapat mencegah seseorang untuk berpikir dan memahami kebenaran. Oleh karena itu, perlu kiranya setiap orang mencari faktor-faktor yang menyebabkan mereka berada dalam kondisi yang kurang baik tersebut, dan berusaha melepaskan diri darinya. Jika tidak dilakukan, ia tidak akan mampu mengetahui realitas yang sebenarnya dari kehidupan dunia yang pada akhirnya menghantarkannya kepada kerugian besar di akhirat.
Dalam Al-Qur'an Allah memberitakan keadaan orang-orang yang terbiasa berpikir dangkal:

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya". (QS. Ar-Ruum, 30: 7-8)


Kelumpuhan mental akibat mengikuti kebanyakan orang

Satu sebab yang membuat kebanyakan orang tersesat adalah keyakinannya bahwa apa yang dilakukan "sebagian besar" manusia adalah benar. Manusia biasanya lebih cenderung menerima apa yang diajarkan oleh orang-orang disekitarnya, daripada berpikir untuk mencari sendiri kebenaran dari apa yang diajarkan tersebut. Ia melihat bahwa hal-hal yang pada mulanya kelihatannya janggal seringkali dianggap biasa oleh kebanyakan orang, atau bahkan tidak terlalu dipedulikan. Maka setelah beberapa lama, ia kemudian menjadi terbiasa juga dengan hal-hal tersebut.
Sebagai contoh: sebagian besar dari teman-teman di sekitarnya tidak berpikir bahwa suatu hari mereka akan mati. Mereka bahkan tidak membiarkan satu orang pun berbicara mengenai masalah ini untuk mengingatkan tentang kematian. Seseorang yang berada dalam lingkungan yang demikian akan berkata,"Karena semua orang seperti itu, maka tidak ada salahnya jika saya berperilaku sama seperti mereka." Lalu orang tersebut menjalani hidupnya tanpa mengingat kematian sama sekali. Sebaliknya, jika orang-orang di sekitarnya bertingkah laku sebagai orang yang takut kepada Allah dan beramal secara sungguh-sungguh untuk hari akhir, sangat mungkin orang ini akan juga berubah sikap.
Sebagai contoh tambahan: ratusan berita tentang bencana alam, ketidakadilan, ketidakjujuran, kedzaliman, bunuh diri, pembunuhan, pencurian, penggelapan uang diberitakan di TV dan majalah-majalah. Ribuan orang yang membutuhkan bantuan disebutkan setiap hari. Tetapi banyak dari mereka yang membaca berita-berita tersebut, membolak-balik halaman surat kabar atau menekan tombol TV dengan tenangnya. Pada umumnya, manusia tidak memikirkan mengapa berita-berita semacam ini demikian banyak; apa yang harus dilakukan dan persiapan-persiapan apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sedemikian mengenaskan; serta apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Kebanyakan manusia menuding orang atau pihak lain bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tersebut. Dengan seenaknya mereka melontarkan kata-kata seperti "apakah menjadi tanggung jawab saya untuk menyelamatkan dunia ini?"


Kemalasan mental

Kemalasan adalah sebuah faktor yang menghalangi kebanyakan manusia dari berpikir.
Akibat kemalasan mental, manusia melakukan segala sesuatu sebagaimana yang pernah mereka saksikan dan terbiasa mereka lakukan. Untuk memberikan sebuah contoh dari kehidupan sehari-hari: cara yang digunakan para ibu rumah tangga dalam membersihkan rumah adalah sebagaimana yang telah mereka lihat dari ibu-ibu mereka dahulu. Pada umumnya tidak ada yang berpikir, "Bagaimana membersihkan rumah dengan cara yang lebih praktis dan hasil yang lebih bersih" dengan kata lain, berusaha menemukan cara baru. Demikian juga, ketika ada yang perlu diperbaiki, manusia biasanya menggunakan cara yang telah diajarkan ketika mereka masih kanak-kanak. Umumnya mereka enggan berusaha menemukan cara baru yang mungkin lebih praktis dan berdaya guna. Cara berbicara orang-orang ini juga sama. Cara bagaimana seorang akuntan berbicara, misalnya, sama seperti akuntan-akuntan yang lain yang pernah ia lihat selama hidupnya. Para dokter, banker, penjual…..dan orang-orang dari latar belakang apapun mempunyai cara bicara yang khas. Mereka tidak berusaha mencari yang paling tepat, paling baik dan paling menguntungkan dengan berpikir. Mereka sekedar meniru dari apa yang telah mereka lihat.
Cara pemecahan masalah yang dipakai juga menunjukkan kemalasan dalam berpikir. Sebagai contoh: dalam menangani masalah sampah, seorang manajer sebuah gedung menerapkan metode yang sama sebagaimana yang telah dipakai oleh manajer sebelumnya. Atau seorang walikota berusaha mencari jalan keluar tentang masalah jalan raya dengan meniru cara yang digunakan oleh walikota-walikota sebelumnya. Dalam banyak hal, ia tidak dapat mencari pemecahan yang baru dikarenakan tidak mau berpikir.
Sudah pasti, contoh-contoh di atas dapat berakibat fatal bagi kehidupan manusia jika tidak ditangani secara benar. Padahal masih banyak masalah yang lebih penting dari itu semua. Bahkan jika tidak dipikirkan, akan mendatangkan kerugian yang besar dan kekal bagi manusia. Penyebab kerugian tersebut adalah kegagalan seseorang dalam berpikir tentang tujuan keberadaannya di dunia; ketidakpedulian akan kematian sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari; dan kepastian akan hari penghisaban setelah mati. Dalam Al-Qur'an, Allah mengajak manusia untuk merenungkan fakta yang sangat penting ini:

"Mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, dan lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan. Pasti mereka itu di akhirat menjadi orang-orang yang paling merugi. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?" (QS. Huud, 11: 21-24)

"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl, 16: 17)


Anggapan bahwa berpikir secara mendalam
tidaklah baik

Ada sebuah kepercayaan yang kuat dalam masyarakat bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik. Mereka saling mengingatkan satu sama lain dengan mengatakan "jangan terlalu banyak berpikir, anda akan kehilangan akal". Sungguh ini tidak lain hanyalah omong kosong yang didengung-dengungkan oleh mereka yang jauh dari agama. Yang seharusnya dihindari bukanlah tidak berpikir, akan tetapi memikirkan keburukan; atau terjerumus dalam keragu-raguan, khayalan-khayalan atau angan-angan kosong.
Mereka yang tidak memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir, tidak berpikir mengenai hal-hal yang baik dan bermanfaat, akan tetapi hal-hal yang negatif. Sehingga hasil yang tidak bermanfaatlah yang pada akhirnya muncul dari perenungan mereka. Mereka berpikir, misalnya, bahwa hidup di dunia adalah sementara, dan bahwa mereka suatu hari akan mati, akan tetapi hal ini menjadikan mereka putus harapan. Sebab secara sadar mereka tahu bahwa menjalani kehidupan tanpa mengikuti perintah Allah hanya akan menyengsarakan mereka di akhirat. Sebagian dari mereka bersikap pesimistik karena berkeyakinan bahwa mereka akan lenyap sama sekali setelah mati.
Orang yang bijak, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memiliki pola pikir yang sama sekali berbeda ketika mengetahui bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Pertama-tama, kesadarannya akan kehidupan dunia yang sementara mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan atau kerja keras yang sungguh-sungguh untuk kehidupannya yang hakiki dan abadi di akhirat. Karena tahu bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, ia tidak terlenakan oleh ambisi syahwat dan kepentingan dunia. Ia terlihat sangat tenang. Tak satupun peristiwa yang menimpanya dalam kehidupan yang sementara ini membuatnya marah. Dengan ceria ia selalu berpikir tentang harapan untuk meraih kehidupan yang abadi dan menyenangkan di akhirat. Ia juga sangat menikmati keberkahan dan keindahan dunia. Allah telah menciptakan kehidupan dunia dengan tidak sempurna dan penuh kekurangan sebagai ujian bagi manusia. Ia berpikir bahwa jika dalam kehidupan di dunia yang tidak sempurna dan cacat ini terdapat demikian banyak kenikmatan untuk manusia, maka sudah pasti kehidupan surga amat tak terbayangkan lagi keindahannya. Ia mendambakan untuk melihat keindahan yang hakiki di akhirat. Dan ia memahami semua hal tersebut setelah berpikir secara mendalam.


Berlepas diri dari tanggung jawab melaksanakan
apa yang diperoleh dari berpikir

Kebanyakan manusia beranggapan bahwa mereka dapat mengelak dari berbagai macam tanggung jawab dengan menghindarkan diri dari berpikir, dan mengalihkan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan melakukan yang demikian di dunia, mereka berhasil melepaskan diri mereka sendiri dari beragam masalah. Satu diantara banyak hal yang sangat menipu manusia adalah anggapan bahwa mereka akan dapat membebaskan diri dari kewajiban mereka kepada Allah dengan cara tidak berpikir. Inilah sebab utama yang membuat mereka tidak berpikir tentang kematian dan kehidupan setelahnya. Jika seseorang berpikir bahwa ia suatu hari akan mati dan selalu ingat bahwa ada kehidupan abadi setelah mati, maka ia wajib bekerja keras untuk kehidupannya setelah mati. Tetapi ia telah menipu dirinya sendiri ketika berkeyakinan bahwa kewajiban tersebut akan lepas dengan sendirinya ketika ia tidak berpikir tentang keberadaan akhirat. Ini adalah kekeliruan yang sangat besar, dan jika seseorang tidak mendapatkan kebenaran di dunia dengan berpikir, maka setelah kematiannya ia baru akan menyadari bahwa tidak ada jalan keluar baginya untuk meloloskan diri.

"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman." (QS. Qaaf, 50: 19-20)


Tidak berpikir akibat terlenakan oleh kehidupan
sehari-hari

Kebanyakan manusia menghabiskan keseluruhan hidup mereka dalam "ketergesa-gesaan". Ketika mencapai umur tertentu, mereka harus bekerja dan menanggung hidup diri mereka dan keluarga mereka. Mereka menganggap hal ini sebagai sebuah "perjuangan hidup". Dan, karena harus bekerja keras, jungkir balik dalam pekerjaan, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu lagi untuk hal-hal yang lain, termasuk berpikir. Akhirnya mereka pun terbawa larut oleh arus ke arah mana saja kehidupan mereka ini membawa mereka. Dengan demikian, mereka menjadi tidak peka lagi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar.
Namun, tidak sepatutnya manusia memiliki tujuan hidup hanya sekedar menghabiskan waktu; bergegas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang terpenting di sini adalah kemampuan melihat kenyataan sesungguhnya dari kehidupan dunia ini untuk kemudian menempuh jalan hidup yang sebenarnya. Tidak ada satu orang pun yang mempunyai tujuan akhir mendapatkan uang, bekerja, belajar di universitas atau membeli rumah. Sudah barang tentu manusia perlu melakukan ini semua dalam hidupnya, namun yang mesti senantiasa ada dalam benaknya ketika melakukan segala hal tersebut yaitu kesadaran akan keberadaan manusia di dunia sebagai hamba Allah, untuk bekerja demi mencari ridha, kasih sayang dan surga Allah. Segala perbuatan dan pekerjaan selain untuk tujuan tersebut hanyalah berfungsi sebagai "sarana" untuk membantu manusia dalam meraih tujuan yang sebenarnya. Menempatkan sarana sebagai tujuan utama adalah sebuah kekeliruan yang amat besar yang didengung-dengungkan syaitan kepada manusia.
Seseorang yang hidup tanpa berpikir akan mudah sekali menjadikan sarana tersebut sebagai tujuan. Kita dapat menyebutkan contoh-contoh lain yang serupa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: tidak dapat diragukan bahwa bekerja dan menghasilkan berbagai hal yang bermanfaat untuk masyarakat adalah perbuatan baik. Seseorang yang beriman kepada Allah akan melakukan pekerjaan tersebut dengan bersemangat sambil mengharapkan balasan Allah di dunia dan di akhirat. Sebaliknya jika seseorang melakukan hal yang sama tanpa mengingat Allah dan hanya mengharapkan imbalan dunia, seperti mendapatkan jabatan tinggi agar dihormati oleh masyarakat, maka ia telah melakukan kekeliruan. Ia telah melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya, yakni mencari ridha Allah. Ketika menemukan realitas yang sebenarnya di akhirat, ia merasa sangat menyesal karena telah melakukan hal yang demikian. Dalam sebuah ayat, Allah merujuk ke mereka yang terpedaya oleh kehidupan dunia sebagaimana berikut:

"(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. At-Taubah, 9: 69).


Melihat segala sesuatu dengan "penglihatan yang
biasa", sekedar melihat tanpa perenungan

Ketika melihat beberapa hal yang baru untuk pertama kalinya, manusia mungkin menemukan berbagai hal yang luar biasa yang mendorong mereka berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh apa yang sedang mereka lihat tersebut. Namun setelah sekian lama, mereka mulai terbiasa dengan hal-hal ini dan tidak lagi merasa takjub. Terutama sebuah benda ataupun kejadian yang mereka temui setiap hari sudah menjadi sesuatu yang "biasa" saja bagi mereka.
Sebagai contoh, beberapa orang calon dokter merasakan adanya pengaruh terhadap dirinya ketika pertama kali melihat jenazah. Saat pertama kali satu di antara para pasien mereka meninggal dapat membuat mereka termenung lama. Padahal beberapa menit yang lalu jasad tak bernyawa ini masih hidup, tertawa, memikirkan rencana-rencana, berbicara, menikmati hidup dengan wajah yang ceria. Orang yang tadinya hidup serta melihat dengan mata yang ceria, berbicara tentang rencana masa depan, menikmati sarapan di pagi hari mendadak terbaring tanpa ruh. Ketika pertama kali mayat tersebut diletakkan di depan para dokter tersebut untuk diautopsi, mereka berpikir segala hal yang mereka lihat padanya. Tubuhnya membusuk demikian cepat, bau yang menusuk hidung pun tercium, rambut yang tadinya terlihat indah menjadi demikian kusut hingga tak seorang pun sudi menyentuhnya. Kesemua ini termasuk apa yang ada di benak mereka. Lalu mereka pun berpikir: bahan pembentuk semua manusia adalah sama dan jasad mereka akan mengalami akhir yang serupa, yakni mereka pun akan menjadi seperti mayat yang mereka saksikan.
Namun, setelah berulang-ulang melihat beberapa mayat dan mendapati beberapa pasiennya meninggal dunia, orang-orang ini pada akhirnya menjadi terbiasa. Mereka lalu memperlakukan mayat-mayat, atau bahkan para pasien mereka sebagaimana barang atau benda.
Sungguh, ini tidak berlaku terhadap dokter saja. Terhadap kebanyakan manusia, hal yang sama dapat terjadi dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh, ketika seseorang yang biasa hidup dalam kesusahan dikaruniai kehidupan yang serba berkecukupan, ia akan sadar bahwa semua yang ia miliki adalah sebuah kenikmatan untuknya. Tempat tidurnya menjadi lebih nyaman, tempat tinggalnya menghadap ke arah pemandangan yang indah, ia dapat membeli apapun yang diinginkannya, menghangatkan rumahnya di musim dingin sekehendaknya, dengan mudahnya pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kendaraan, dan banyak hal lain yang kesemuanya adalah kenikmatan baginya. Ketika membandingkan dengan keadaan yang sebelumnya, ia akan merasa bersyukur dan bahagia. Akan tetapi, bagi orang yang telah memiliki kesemua ini sejak lahir mungkin tak pernah terlalu memikirkan tentang nilai dari semua kenikmatan tersebut. Jadi, penilaian terhadap segala kenikmatan ini tidak mungkin dilakukannya tanpa ia mau berpikir secara mendalam.
Lain halnya bagi seseorang yang mau merenung, tidaklah menjadi persoalan apakah ia mendapatkan segala kenikmatan tersebut sejak lahir atau di kemudian hari. Sebab ia tidak pernah melihat apa yang dimilikinya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia paham bahwa segala yang ia punyai adalah ciptaan Allah. Sekehendak-Nya, Allah berkuasa mengambil semua kenikmatan yang ada darinya. Sebagai contoh, orang-orang mukmin ketika menaiki hewan tunggangan, yakni kendaraan, mereka akan berdoa:

"Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengatakan:"Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami." (QS. Az-Zukhruf, 43: 13-14)

Di ayat lain, dikisahkan bahwa ketika orang-orang yang beriman memasuki kebun-kebun atau taman-taman mereka, mereka mengingat Allah seraya berkata, "Atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" (QS. Al-Kahfi, 18: 39). Ini adalah sebuah isyarat bahwa setiap saat ketika memasuki taman-taman mereka, muncul dalam benak mereka: Allah lah yang menciptakan dan memelihara taman ini. Sebaliknya, seseorang yang tidak berpikir mungkin takjub ketika pertama kali melihat sebuah taman yang indah, tetapi kemudian taman tersebut menjadi sebuah tempat yang biasa-biasa saja baginya. Kekagumannya atas keindahan tersebut telah sirna. Sebagian orang sama sekali tidak menyadari nikmat tersebut dikarenakan tidak berpikir. Mereka menganggap segala kenikmatan yang ada sebagai hal yang "biasa" atau "lumrah" dan sebagai "sesuatu yang memang seharusnya sudah demikian". Inilah yang menjadikan mereka tidak dapat merasakan kenikmatan dari keindahan taman tersebut.


Kesimpulan: wajib atas manusia untuk menghilangkan
segala penyebab yang menghalangi mereka dari berpikir

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, fakta bahwa kebanyakan manusia tidak berpikir dan hidup dalam keadaan lalai dari kebenaran tidak menjadi alasan bagi seseorang untuk tidak berpikir. Setiap manusia mempunyai kebebasan terhadap dirinya sendiri, dan ia akan bertanggung jawab atas dirinya sendiri di hadapan Allah. Mesti senantiasa diingat bahwa Allah menguji manusia dalam hidupnya di dunia. Sikap orang-orang selain dirinya yang sering kali acuh, tidak mau berpikir, bernalar ataupun memahami kebenaran adalah bagian dari ujian untuknya. Seseorang yang berpikir dengan ikhlas tidak akan berkata,"Kebanyakan manusia tidak berpikir, dan tidak menyadari akan hal ini, lalu mengapa saya sendirian yang mesti berpikir?" Tetapi, ia akan menerima dan menjalani ujian tersebut dengan memikirkan tentang kelalaian orang-orang terebut, dan memohon perlindungan Allah agar tidak menjadikannya termasuk dalam golongan mereka. Sudah jelas bahwa keadaan mereka bukanlah alasan baginya untuk tidak berpikir. Dalam Al-Qur'an, Allah memberitakan di banyak ayat bahwa kebanyakan manusia berada dalam kelalaian dan tidak beriman:

"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya." (QS. Yuusuf, 12: 103)

"Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya)." (QS. Ar-Ra’d, 13: 1)

"Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui," (QS. An-Nahl, 16: 38)

"Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (dari padanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (ni'mat)." (QS. Al-Furqaan, 25: 50)

Di lain ayat, Allah menceritakan kesudahan dari mereka yang tersesat akibat mengikuti kebanyakan manusia; dan tidak mematuhi perintah Allah akibat melalaikan tujuan penciptaan mereka:

"Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun." (QS. Faathir, 35:37)

Berdasarkan dalil di atas, setiap manusia hendaknya membuang segala sesuatu yang mencegah mereka dari berpikir untuk kemudian secara ikhlas dan jujur memikirkan dengan seksama setiap ciptaan ataupun kejadian yang Allah ciptakan, serta mengambil pelajaran dan peringatan dari apa yang ia pikirkan.
Dalam bab berikutnya, kami akan menguraikan tentang berbagai hal yang dapat dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, yakni beberapa peristiwa dan ciptaan Allah yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan kami adalah untuk memberikan petunjuk tentang masalah ini kepada para pembaca agar mereka mampu menjalani sisa hidupnya sebagai manusia yang "berpikir dan mengambil peringatan dari apa yang mereka pikirkan".

Hal-hal Yang Hendaknya Dipikirkan


Sejak awal, kami telah menekankan pentingnya berpikir, manfaat-manfaatnya bagi manusia dan sarana yang membedakan manusia dari makhluk lain. Kami telah menyebutkan pula sebab-sebab yang menghalangi manusia dari berpikir. Semua ini mempunyai tujuan utama mendorong manusia untuk berpikir dan membantu mereka mengetahui tujuan penciptaan dirinya; serta agar manusia mengagungkan ilmu dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Di halaman-halaman berikutnya, kami akan mencoba menjelaskan bagaimana orang yang beriman kepada Allah berpikir tentang segala sesuatu yang dijumpainya sepanjang hari dan mendapatkan pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang ia saksikan; bagaimana ia seharusnya bersyukur dan menjadi semakin dekat kepada Allah setelah menyaksikan keindahan dan ilmu Allah di segala sesuatu.
Sudah pasti apa yang disebutkan di sini hanya mencakup sebagian kecil dari kapasitas berpikir seorang manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk setiap saat (dan bukan setiap jam, menit atau detik, tapi satuan waktu yang lebih kecil dari itu, yakni setiap saat) dalam hidupnya. Ruang lingkup berpikir manusia sedemikian luasnya sehingga tidak mungkin untuk dibatasi. Oleh karena itu, uraian di bawah ini bertujuan untuk sekedar membukakan pintu bagi mereka yang belum menggunakan sarana berpikir mereka sebagaimana mestinya.
Perlu diingat bahwa hanya mereka yang berpikir secara mendalam lah yang mampu memahami dan berada pada posisi lebih baik dibandingkan makhluk lain. Mereka yang tidak dapat melihat keajaiban dari peristiwa-peristiwa di sekitarnya dan tidak dapat memanfaatkan akal mereka untuk bepikir adalah sebagaimana diceritakan dalam firman Allah berikut:

"Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (QS. Al-Baqarah, 2: 171)

"… Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A’raaf, 7: 179)

"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (QS. Al-Furqaan, 25: 44)

Hanya mereka yang mau berpikir yang mampu melihat dan kemudian memahami tanda-tanda kebesaran Allah, serta keajaiban dari obyek dan peristiwa-peristiwa yang Allah ciptakan. Mereka mampu mengambil sebuah kesimpulan berharga dari setiap hal, besar ataupun kecil, yang mereka saksikan di sekeliling mereka.

Ketika seseorang bangun dari tidurnya di pagi hari…

Tidak diperlukan kondisi khusus bagi seseorang untuk memulai berpikir. Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya berpikir.
Terpampang sebuah hari yang panjang dihadapan seseorang yang baru saja bangun dari pembaringannya di pagi hari. Sebuah hari dimana rasa capai atau kantuk seakan telah sirna. Ia siap untuk memulai harinya. Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah:

"Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha." (QS. Al-Furqaan, 25: 47)

Setelah membasuh muka dan mandi, ia merasa benar-benar terjaga dan berada dalam kesadarannya secara penuh. Sekarang ia siap untuk berpikir tentang berbagai persoalan yang bermanfaat untuknya. Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi atau pukul berapa ia harus berangkat dari rumah. Dan pertama kali ia harus memikirkan tentang hal yang lebih penting ini.
Pertama-tama, bagaimana ia mampu bangun di pagi hari adalah sebuah keajaiban yang luar biasa. Kendatipun telah kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya. Jantungnya berdetak, ia dapat bernapas, berbicara dan melihat. Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya. Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu. Misalnya, kealpaan tetangga yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.
Ia mungkin saja mengalami masalah dengan fisiknya. Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar biasa pada ginjal atau kepalanya. Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya untuk berterima kasih kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang diberikan-Nya.
Memulai hari yang baru dengan kesehatan yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih baik di akhirat.
Ingat akan semua ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan cara yang diridhai Allah. Sebelum segala sesuatu yang lain, seseorang pertama kali hendaknya merencanakan dan sibuk memikirkan hal-hal semacam ini. Titik awal dalam mendapatkan keridhaan Allah adalah dengan memohon kepada Allah agar memudahkannya dalam mengatasi masalah ini. Doa Nabi Sulaiman adalah tauladan yang baik bagi orang-orang yang beriman:

"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni'mat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh" (QS. An-Naml, 27 : 19)


Bagaimana kelemahan manusia mendorong
seseorang untuk berpikir?

Tubuh manusia yang demikian lemah ketika baru saja bangun dari tidur dapat mendorong manusia untuk berpikir: setiap pagi ia harus membasuh muka dan menggosok gigi. Sadar akan hal ini, ia pun merenungkan tentang kelemahan-kelemahannya yang lain. Keharusannya untuk mandi setiap hari, penampilannya yang akan terlihat mengerikan jika tubuhnya tidak ditutupi oleh kulit ari, dan ketidakmampuannya menahan rasa kantuk, lapar dan dahaga, semuanya adalah bukti-bukti tentang kelemahan dirinya.
Bagi orang yang telah berusia lanjut, bayangan dirinya di dalam cermin dapat memunculkan beragam pikiran dalam benaknya. Ketika menginjak usia dua dekade dari masa hidupnya, tanda-tanda proses penuaan telah terlihat di wajahya. Di usia yang ketigapuluhan, lipatan-lipatan kulit mulai kelihatan di bawah kelopak mata dan di sekitar mulutnya, kulitnya tidak lagi mulus sebagaimana sebelumnya, perubahan bentuk fisik terlihat di sebagian besar tubuhnya. Ketika memasuki usia yang semakin senja, rambutnya memutih dan tangannya menjadi rapuh.
Bagi orang yang berpikir tentang hal ini, usia senja adalah peristiwa yang paling nyata yang menunjukkan sifat fana dari kehidupan dunia dan mencegahnya dari kecintaan dan kerakusan akan dunia. Orang yang memasuki usia tua memahami bahwa detik-detik menuju kematian telah dekat. Jasadnya mengalami proses penuaan dan sedang dalam proses meninggalkan dunia ini. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai melemah kendatipun ruhnya tidaklah berubah menjadi tua. Sebagian besar manusia sangat terpukau oleh ketampanan atau merasa rendah dikarenakan keburukan wajah mereka semasa masih muda. Pada umumnya, manusia yang dahulunya berwajah tampan ataupun cantik bersikap arogan, sebaliknya yang di masa lalu berwajah tidak menarik merasa rendah diri dan tidak bahagia. Proses penuaan adalah bukti nyata yang menunjukkan sifat sementara dari kecantikan atau keburukan penampilan seseorang. Sehingga dapat diterima dan masuk akal jika yang dinilai dan dibalas oleh Allah adalah akhlaq baik beserta komitmen yang diperlihatkan seseorang kepada Allah.
Setiap saat ketika menghadapi segala kelemahannya manusia berpikir bahwa satu-satunya Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Besar serta jauh dari segala ketidaksempurnaan adalah Allah, dan iapun mengagungkan kebesaran Allah. Allah menciptakan setiap kelemahan manusia dengan sebuah tujuan ataupun makna. Termasuk dalam tujuan ini adalah agar manusia tidak terlalu cinta kepada kehidupan dunia, dan tidak terpedaya dengan segala yang mereka punyai dalam kehidupan dunia. Seseorang yang mampu memahami hal ini dengan berpikir akan mendambakan agar Allah menciptakan dirinya di akhirat kelak bebas dari segala kelemahan.
Segala kelemahan manusia mengingatkan akan satu hal yang menarik untuk direnungkan: tanaman mawar yang muncul dan tumbuh dari tanah yang hitam ternyata memiliki bau yang demikian harum. Sebaliknya, bau yang sangat tidak sedap muncul dari orang yang tidak merawat tubuhnya. Khususnya bagi mereka yang sombong dan membanggakan diri, ini adalah sesuatu yang seharusnya mereka pikirkan dan ambil pelajaran darinya.

Bagaimana beberapa karakteristik tubuh manusia
membuat anda berpikir?

Ketika melihat diri sendiri di dalam cermin, seseorang berpikir tentang berbagai hal yang sebelumnya tak pernah muncul dalam benaknya. Sebagai contoh: bulu mata, alis, tulang belulang dan gigi-giginya tidak tumbuh memanjang terus menerus. Dengan kata lain, di bagian tubuh dimana pertumbuhan anggota badan yang terus menerus akan menjadi sesuatu yang menyusahkan dan menghalangi pandangannya, maka anggota tubuh tersebut berhenti tumbuh. Sebaliknya, rambut yang kelihatan indah jika tumbuh memanjang, tidak berhenti tumbuh. Disamping itu, ada keseimbangan yang sempurna dalam pertumbuhan tulang-belulang. Misalnya tulang anggota bagian atas tidak akan tumbuh memanjang begitu saja sehingga menyebabkan badan kelihatan lebih pendek. Semua tulang ini berhenti pada saat tertentu seakan-akan tiap-tiap tulang tersebut tahu seberapa panjang mereka harus tumbuh.
Sudah barang tentu, semua yang telah disebutkan di sini terjadi akibat dari reaksi-reaksi fisika dan kimia yang terjadi dalam tubuh. Orang yang merenungkan hal ini akan juga bertanya-tanya bagaimana reaksi-reaksi ini terjadi. Siapa yang memasukkan hormon-hormon dan enzim-enzim yang bertanggung jawab atas pertumbuhan ke dalam tubuh sesuai dengan dosis yang dibutuhkan? Dan siapakah yang mengontrol kadar dan waktu sekresi dari hormon dan enzim tersebut?
Tidak dapat dipungkiri bahwa mustahil untuk mengatakan bahwa ini semua terjadi secara kebetulan. Tidaklah mungkin sel-sel atau atom-atom pembentuk manusia yang tidak mempunyai kesadaran tersebut melakukan hal yang demikian dengan sendirinya. Ini adalah bukti bahwa fenomena tersebut terjadi karena kekuasaan Allah yang menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.


Ketika dalam perjalanan…

Setelah bangun tidur dan bersiap-siap di pagi hari, orang-orang kemudian berangkat ke kantor, sekolah atau melakukan pekerjaan mereka di luar rumah. Bagi orang yang beriman, keberangkatan ini adalah awal dari melakukan amal kebaikan yang mendatangkan ridha Allah. Ketika meninggalkan rumah dan bepergian ke luar, seseorang akan menjumpai banyak hal yang dapat ia pikirkan, misalnya ribuan manusia, kendaraan, pohon, besar dan kecil, dan beragam hal yang terdapat di banyak tempat. Dalam hal ini, pandangan orang yang beriman sudah jelas, yakni bahwa ia berusaha untuk mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dari yang ia jumpai di sekelilingnya. Ia memikirkan tentang sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa yang ada. Karena apa yang sedang ia saksikan terjadi dengan pengetahuan dan kehendak Allah, maka pasti ada sebuah makna di balik peristiwa atau pemandanga itu. Karena Allah lah yang memampukannya untuk pergi ke luar rumah serta meletakkan semua pemandangan ini di depan matanya, maka sudah pasti dari pemandangan-pemandangan tersebut ada yang mesti dilihat dan dipikirkan. Sejak bangun tidur, ia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya umur satu hari lagi di dunia yang dapat digunakannya sebagai modal untuk mendapatkan pahala dari Allah. Kini, ia tengah memulai perjalanan yang dapat mendatangkan pahala baginya. Menyadari hal ini, ia teringat akan firman Allah: "Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan", (QS. An-Naba’, 78 :11). Berpedomankan ayat tersebut, ia membuat rencana tentang bagaimana menghabiskan waktunya di siang hari dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak hanya bermanfaat untuk orang lain akan tetapi juga mendatangkan ridha Allah.
Ketika berada dalam mobilnya atau di atas kendaraan apapun dengan pola pikir yang demikian, ia pun kembali bersyukur kepada Allah. Tidak menjadi masalah, betapapun jauhnya jarak perjalanan yang harus ia tempuh, ia masih memiliki sarana untuk pergi ke sana. Untuk memudahkan manusia, Allah telah menciptakan beragam sarana transportasi untuk membantu manusia dalam melakukan perjalanan. Bahkan kemajuan teknologi saat sekarang telah menyediakan sarana transportasi baru berupa mobil, kereta api, pesawat terbang, kapal laut, helikopter, bus…Ketika merenungkan hal ini, seseorang akan kembali teringat: Allah lah yang telah menciptakan teknologi untuk membantu manusia.
Setiap hari, para ilmuwan membuat penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi baru yang dapat memudahkan hidup kita. Mereka menghasilkan ini semua melalui sarana yang diciptakan Allah di bumi. Seseorang yang memikirkan tentang masalah tersebut akan menikmati perjalanannya sambil bersyukur kepada Allah atas kemudahan yang diberikan kepadanya.
Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia menyaksikan tumpukan sampah dengan bau yang tak sedap, tempat-tempat kumuh di sepanjang jalan. Hal ini menimbulkan beragam pikiran dalam benaknya:
Ketika masih berada di dunia, Allah telah memberikan informasi kepada kita yang membantu kita memperoleh gambaran tentang surga dan neraka; atau mengira-ngira keadaan kedua tempat ini dengan menggunakan perbandingan. Tumpukan sampah, bau yang tidak sedap dan daerah-daerah kumuh dapat menimbulkan stres atau tekanan dalam jiwa seseorang. Tak seorangpun ingin tinggal di tempat tersebut. Keadaan ini mengingatkan seseorang tentang neraka dan ayat-ayat yang mengisahkan neraka. Di banyak ayat-ayat Al-Qur'an Allah telah menceritakan segala sesuatu yang tidak menyenangkan, gelap serta menjijikkan tentang neraka:

Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu?
Dalam (siksaan) angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam.
Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. (QS. Al-Waaqi’ah, 56:41-44)

"Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (Akan dikatakan kepada mereka): "Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak" (QS. Al-Furqaan, 25:13-14)

Hidup itu seperti Air

Ada dua benda yang bersahabat karib yaitu besi dan air. Besi
seringkali berbangga akan dirinya sendiri. Ia sering menyombong kepada
sahabatnya : “Lihat ini aku, kuat dan keras. Aku tidak seperti kamu yang
lemah dan lunak”. Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya.


Suatu hari besi menantang air berlomba untuk menembus suatu gua dan
mengatasi segala rintangan yang ada di sana . Aturannya : “Barang siapa
dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan
menang” Besi dan air pun mulai berlomba : Rintangan pertama mereka ialah
mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan
tajam. Besi mulai menunjukkan kekuatannya, Ia menabrakkan dirinya ke
batu-batuan itu.Tetapi karena kekerasannya batu-batuan itu mulai runtuh
menyerangnya dan besipun banyak terluka di sana sini karena melawan
batu-batuan itu.



Air melakukan tugasnya ia menetes sedikit demi sedikit untuk melawan
bebatuan itu, ia lembut mengikis bebatuan itu sehingga bebatuan lainnya
tidak terganggu dan tidak menyadarinya, ia hanya melubangi seperlunya
saja untuk lewat tetapi tidak merusak lainnya.


Score air dan besi 1 : 0 untuk rintangan ini. Rintangan kedua mereka
ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar
gua. Besi merasakan kekuatannya, ia mengubah dirinya menjadi mata bor
yang kuat dan ia mulai berputar untuk menembus celah-celah itu. Tetapi
celah-celah itu ternyata cukup sulit untuk ditembus, semakin keras ia
berputar memang celah itu semakin hancur tetapi iapun juga semakin
terluka.


Air dengan santainya merubah dirinya mengikuti bentuk celah-celah
itu. Ia mengalir santai dan karena bentuknya yang bisa berubah ia bisa
dengan leluasa tanpa terluka mengalir melalui celah-celah itu dan tiba
dengan cepat didasar gua. Score air dan besi 2 : 0


Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati suatu lembah dan
tiba di luar gua besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu
harus berbuat apa, akhirnya ia berkata kepada air : “Score kita 2 : 0,
aku akan mengakui kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan
terakhir ini !”


Airpun segera menggenang sebenarnya ia pun kesulitan mengatasi
rintangan ini,tetapi kemudian ia membiarkan sang matahari membantunya
untuk menguap.
Ia terbang dengan ringan menjadi awan, kemudian ia meminta bantuan angin
untuk meniupnya kesebarang dan mengembunkannya. Maka air turun sebagai
hujan. Air menang telak atas besi dengan score 3 : 0.



Jadikanlah hidupmu seperti air. Ia dapat memperoleh sesuatu
dengan kelembutannya tanpa merusak dan mengacaukan karena dengan sedikit
demi sedikit ia bergerak tetapi ia dapat menembus bebatuan yang keras.
Ingat hati seseorang hanya dapat dibuka dengan kelembutan dan kasih
bukan dengan paksaan dan kekerasan.
Kekerasan hanya menimbulkan dendam dan paksaan hanya menimbulkan
keinginan untuk membela diri.


Air selalu merubah bentuknya sesuai dengan lingkungannya, ia flexibel
dan tidak kaku karena itu ia dapat diterima oleh lingkungannya dan
tidak ada yang bertentangan dengan dia. Air tidak putus asa, Ia tetap
mengalir meskipun melalui celah terkecil sekalipun. Ia tidak putus asa.
Dan sekalipun air mengalami suatu kemustahilan untuk mengatasi
masalahnya, padanya masih dikaruniakan kemampuan untuk merubah diri
menjadi uap.

Golden of Silent

“Diam”.. orang yang diam itu biasanya identik dengan sikap yang
pemalu. Tetapi kadang ‘diam’ itu membawa keberkahan karena menekankan
sifat seseorang agar tidak sombong dan takabur, tetapi ada yang bersikap
“diam” menandakan bahwa orang tersebut sombong. Kadang – kadang “diam”
itu juga mempunyai sisi yang negatif yaitu “diam yang ketika teman atau
kerabat kita sedang bercanda atau bersuka ria, yang memang tepat pada
waktunya, kita seorang diri justru “diam” menyendiri.

” diam” itu sebenarnya mengandung 7000 kebaikan lho, dan kebaikan –
kebaikan itu tersimpul dalam 7 kalimat dibawah ini, dimana dalam tiap
kalimatnya mengandung 1000 kebaikan :

1. Diam itu ibadah tanpa perlu bersusah payah

2. Diam adalah perhiasan tanpa berhias

3. Diam adalah kehebatan tanpa kerajaan

4. Diam adalah benteng tanpa pagar

5. Diam merupakan kekayaan tanpa minta maaf kepada orang

6. Diam menjadikan istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal

7. Diam menutup segala keaiban < cacat > menjadi keindahan bagi
orang lain yang alim dan menutup bagi yang bodoh.


[ sumber : petikan dari Kitab Tanbihul Ghafitin ]

Memang, “diam” itu dapat dijadikan sebagai pembatas diri kita untuk
tidak melakukan hal – hal yang buruk, namun selain sebagai pembatas,
“diam” itu juga sebagai penghalang diri kita sendiri untuk maju ke depan
mengarahkan diri kita kepada yang lebih baik, seakan – akan diri kita
terhalang oleh tembok yang besar dan untuk mengeluarkan kalimat –
kalimat untuk berbicara sangat sulit dan bibir ini terasa malas untuk
mengeluarkan sepatah kata.
Diam yang positif yaitu “diam” yang didalam diri seseorang mempunyai
suatu bekal ilmu pengetahuan yang luas tentang suatu keadaanatau masalah
yang dihadapi, dan di waktu satnya ia berbicara ia mengeluarkan semua
apa yang ada didalam pikirannya tetapi tidak disertai dengan nafsu untuk
menjatuhkan lawannya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “diam itu
seperti emas”, dan itu memang benar, tetapi ada pula orang yang “diam”
itu membawa malapetaka bagi diri kita atau kerabat kita, ingatlah akan
kata – kata “diam – diam menghanyutkan” atau orang yang “diam” itu
“bagaikan musuh dalam selimut”.
So kesimpulannya bahwa “diam” yang positif apabila dilaksanakan akan
membawa kebaikan dan keberuntungan tetapi sebaliknya “diam” yang negatif
hanya membawa kerugian. Dan jadikanlah “diam” itu sebagai perbaikan
kualitas diri sendiri.

Hidup Sesuai Al-Qur'an

Apakah Anda menyadari keindahan-keindahan yang dipapar­kan Al-Qur`an? Apakah Anda mempelajari fakta-fakta yang ter­tera dalam Al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Anda se­ba­gai pedoman hidup?
Al-Qur`an menjelaskan kepada kita tentang latar belakang kehadiran umat manusia di muka bumi dan bagaimana se­ha­rusnya me­re­ka hidup, sehingga kehidupan itu sesuai dengan mak­sud pen­ciptaan tersebut. Al-Qur`an menjelaskan kewajiban ki­ta kepada Allah dan bagaimana kita akan diberi pahala se­su­ai dengan amal perbuatan kita. Al-Qur`an Kitab yang Allah tu­runkan kepada hamba-hamba-Nya yang mengabdi dengan kasih sayang menyeru kita pada keindahan, kebenaran, kesucian, dan kebahagiaan abadi. Kualitas kesempurnaan Al-Qur`an ini terda­pat dalam banyak ayat,

“Sesungguhnya, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pe­l­ajaran bagi orang-orang berakal. Al-Qur`an itu bukan­lah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenar­kan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan se­ga­­la sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi ka­um yang beriman.” (Yusuf [12]: 111)

“Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 2)

Al-Qur`an adalah kitab yang ditujukan kepada manusia di segala usia, sebuah kitab yang berisi semua subjek dasar yang dibutuhkan setiap orang sepanjang hidup mereka, lelaki atau perempuan. Bentuk-bentuk ibadah, pola pikir unik bagi se­tiap muslim, akhlaq terpuji, perilaku mulia yang harus tam­pak di wajah saat menghadapi setiap kejadian tak terduga atau pada saat-saat menghadapi kesulitan, pola hidup yang mem­­bimbing jiwa dan raga demi hidup sehat, peristiwa kemati­an, peristiwa di saat roh melalui hari perhitungan, lalu sur­ga dan neraka menanti semua manusia, semua termaktub da­lam kitab ini.
Sebagai sumber yang khas bagi semua jawaban dan penjelas­an yang mungkin orang pertanyakan tentang keselamatan aba­di, Al-Qur`an juga mengandung banyak isyarat dan per­ingat­an penting bagi kehidupan manusia. Allah mengaitkan ci­ri Al-Qur`an ini dalam ayat,

“... Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl [16]: 89)

Sebaliknya, hanya mereka yang berimanlah yang hidup se­suai dengan nilai-nilai Al-Qur`an. Karena itu, Al-Qur`an mem­bimbing mereka dalam cahaya tuntunannya.
Allah menciptakan manusia dan menyampaikan melalui Al-Qur`an jalan keluar paling tepat serta semua bentuk informa­si yang dibutuhkan untuk menjalani hidup dalam kebaikan ke­­pada se­mua orang. Karena itu, bila menghadapi kesulitan, sungguh penting bagi mereka yang beriman untuk merujuk pada ayat-ayatnya dan penerapan atas tinjauannya. Tak soal apa la­tar belakang intelektualitas yang dimiliki seseorang, pe­nge­tahuannya tetap saja terbatas, sebab hanya Allah satu-sa­tunya yang melebihi semua makhluk. Manusia dapat meraih il­mu pengetahuan hanya dengan perkenan dan kehendak Sang Ma­ha Pencipta.

“Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (al-Baqarah [2]: 32)

Dengan mengacu pada ayat-ayat ini, mereka yang ingin me­nelusuri satu kehidupan nan indah di dunia hendaklah mele­kat­kan diri pada prinsip-prinsip Al-Qur`an. Dengan ber­bu­at demikian, mereka akan meraih “kearifan”, satu kualitas yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang senantiasa ingat dan takut kepada Allah. Kearifan (kebijaksanaan) inilah yang memungkinkan mereka memperoleh kehidupan paling terhor­mat, merasakan bahagia dan damai, dan yang paling pen­ting meraih tujuan mulia atas keberadaan mereka di bumi. Yang harus mereka lakukan adalah berserah diri kepada Allah dan Al-Qur`an; menekuni dan meneliti perintah-perintah dan nasihatnya, mencermati maksudnya, dan mengamalkannya.
Buku ini merupakan hasil renungan atas makna-makna yang terangkum dalam Al-Qur`an dan keindahan yang disajikan ke dalam kehidupan manusia. Ia hendak membantu para pembaca yang menekuni Al-Qur`an, sehingga mereka dapat meraih kehidup­an yang sesungguhnya, yang sesuai dengan makna-makna ha­ki­ki yang terkandung dalam ajaran-ajaran itu.
Sifat yang Terpuji Menurut Al-Qur`an


Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak ter­tan­ding­i dan upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan rid­ha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah, se­perti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan ba­nyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al­-Qur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, ka­sih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati, pe­nye­rah­an diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucap­an tak berguna.
Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman mo­del ini, Al-Qur`an juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang beriman pada masa dahulu dan bercerita kepada ki­ta ba­gaimana mereka berdo’a, berperilaku, berbicara, baik di kalangan mereka sendiri maupun dengan orang-orang lain di luar mereka, dan dalam menanggapi berbagai peristiwa. Me­lalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian kita kepada sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.
Titik pandang sebuah masyarakat yang jauh da­ri moralitas Al-Qur`an (masyarakat jahiliyah) terhadap ting­kah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja ber­ubah, sesuai de­­ngan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang ko­koh berpegang pada ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi, waktu, dan tem­pat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh ke­pa­­da perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia men­c­er­­minkan akhlaq terpuji.
Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh pe­rilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas pe­­­rilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfo­kus­kan perhatian pada moralitas terpuji yang masih ter­se­lu­bung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.

Konsep Kesucian
Allah menyeru orang-orang beriman supaya membersihkan (me­nyucikan) diri mereka, yang sesuai dengan fitrah jiwa me­reka dan sunnah alam. Kesucian dianggap sebagai satu bentuk lain dari ibadah orang beriman dan, dengan begitu, merupakan sa­tu sumber kelapangan dan kesenangan yang besar bagi me­re­ka sendiri. Di dalam banyak ayat, Allah memerintah­kan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa dan ra­ga. Nabi kita saw. juga menekankan pentingnya memelihara kesucian,
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR Muslim)
Di bawah ini ada sejumlah rincian berkaitan dengan keber­sihan.
1. Kesucian Jiwa
Pengertian qur`ani tentang kesucian berbeda makna dengan yang dipahami oleh masyarakat awam. Menurut Al-Qur`an, su­ci adalah keadaan yang dialami dalam jiwa seseorang. De­mikianlah, kesucian berarti seseorang telah sama sekali mem­­bersihkan dirinya dan nilai-nilai moral masyarakatnya, ben­tuk pola pikirnya, dan gaya hidup yang bertentangan de­ngan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an menganugerahkan ke­­te­nangan jiwa kepada orang-orang beriman.
Tahap awal dari keadaan suci ini berwujud dalam pemikir­an. Tak diragukan lagi, ini merupakan satu kualitas ter­pen­ting. Kesucian jiwa yang dialami manusia tersebut akan ter­­pan­­car dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, mo­ral terpuji orang tersebut akan nyata bagi siapa saja.
Manusia yang berjiwa suci akan menjauhkan pikirannya da­ri segala bentuk kebatilan. Mereka tidak pernah berniat me­nyakiti, cemburu, kejam, dan mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan tercela yang diserap dan di­tampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep moral Al-Qur`an. Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, kare­na mereka merindukan moral terpuji. Inilah sebabnya, terle­pas dari penampilan ragawi, orang-orang beriman pun me­na­ruh perhatian besar pada penyucian jiwa mereka—dengan cara men­­jauhi semua keburukan yang muncul dari kelalaian—dan mengajak orang lain untuk mengikuti hal yang serupa.

2. Kesucian Ragawi
Di dunia ini, orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan yang mirip dengan surga. Di dunia ini, mere­ka ingin menikmati segala sesuatu yang akan Allah anuge­rah­kan kepada mereka di surga. Sebagaimana kita pahami dari Al-Qur`an, kesucian ragawi merupakan salah satu dari kua­li­tas-kualitas yang dimiliki manusia surga. Ayat yang ber­bu­nyi, “... anak anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan,” (ath-Thuur [52]: 24) sudah otomatis menjelaskan hal itu. Sebagai tambahan, Al­lah menginformasikan kepada kita dalam banyak ayat la­in­nya, bahwa di surga tersedia, “pasangan-pasangan hidup yang se­nan­tiasa suci sempurna.” (al-Baqarah [2]: 25)
Di ayat lain, Allah menekankan perhatian pada ke­su­ci­an raga adalah yang merujuk pada Nabi Yahya a.s., “Kami anugerah­kan kepadanya... kesucian dari Kami.” (Maryam [19]: 12-13)

3. Pakaian yang Bersih
Al-Qur`an juga merujuk pada pentingnya pakaian bersih, se­perti dalam ayat, “Dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah.” (al-Muddatstsir [74]: 4-5)
Lebih jauh, kebersihan ragawi adalah hal yang penting, sebab hal ini me­nun­jukkan penghargaan seseorang kepada orang lain. Se­sung­guh­nya, penghormatan pada orang lain mensya­ratkan pemeliharaan tampilan fisik seseorang. Orang-orang beriman bukan sekadar menghindari kotoran, tapi juga mem­­berikan kesan rapi yang tak mencolok yang memperjelas besarnya rasa hormat mereka kepada orang lain. Salah satu cara untuk menunjukkan rasa hormat adalah memakai pakaian ber­sih. Melalui Al-Qur`an, Allah memerintahkan kepada kita,

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid....” (al-A’raaf [7]: 31)

Dalam pemahaman ini, menjaga kebersihan raga dan kerapi­an serta mengupayakan yang terbaik dalam berbagai hal, me­rupakan kualitas yang disenangi Allah. Kualitas-kualitas se­macam ini tidak diutamakan oleh orang-orang yang bodoh. Nabi kita saw. juga mempertegas pengesahan Allah akan kua­li­tas-kualitas seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam ha­dits,
“Seseorang bertanya, ‘Bagaimana tentang seseorang yang suka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah-indah?’ Ra­sulullah menjawab, ‘Semua ciptaan Allah adalah indah dan Dia menyukai keindahan.’” (HR Muslim)
Kita harus memperhatikan hal berikut ini. Umumnya, seti­­ap orang cenderung untuk berupaya sebaik mungkin memberi­kan kesan terhadap sesuatu yang mereka anggap penting pada se­ti­ap pertemuan dengan orang lain. Demikian halnya orang ber­iman, se­su­ai moralitas yang dikehendaki Al-Qur`an, me­re­ka tampak sa­ngat mementingkan kerapian dengan segenap ke­te­li­­tiannya de­ngan tujuan untuk menyenangkan Allah.
Orang beriman memang layak mendapatkan surga dan, di du­nia ini, mereka terikat untuk selalu berupaya menjaga diri dan lingkungannya agar tetap bersih, sehingga mereka bi­sa mendapatkan kesucian dan keindahan surga di dunia ini.

4. Memelihara Kebersihan Lingkungan
Umat Islam sangat berhati-hati dalam menjaga lingkungan terdekat mereka agar tetap bersih. Satu contoh tentang itu disebutkan dalam surah al-Hajj. Allah memerintah­­kan Na­bi Ibrahim a.s. untuk memelihara Ka’bah agar tetap bersih un­­tuk orang-orang beriman yang berdo’a di sekitar tempat itu,

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Jangan­lah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan su­cikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ru­ku dan sujud.’” (al-Hajj [22]: 26)

Sebagaimana dikehendaki ayat tersebut, kebersihan ling­­kungan tem­pat suci yang sejenis (mushala, masjid, majelis taklim, Ed.) harus dipelihara, terutama sekali bagi orang-orang beriman lainnya yang hendak menunaikan ibadah un­tuk mendapatkan ridha Allah. Karena itu, semua orang beriman yang mengikuti langkah Ibrahim a.s. harus menjaga tem­pat tinggal mereka agar tetap bersih dan rapi, sebab hal itu dapat menyenangkan hati mereka.
Konsep qur`ani tentang kebersihan jelas berbeda dengan pe­mahaman orang-orang yang tidak beriman. Allah memerintahkan orang-orang beriman supaya “bersih dan suci” baik lahir mau­pun batin. Dengan kata lain, hal ini bukanlah bersih da­lam pengertian klasik atau kuno, melainkan sebuah upaya ber­kesinambungan.
Menurut kaidah ini, penggambaran Al-Qur`an tentang kehi­dupan di surga juga bersifat perintah. Lingkungan surga su­dah dibersihkan dari segala bentuk kotoran yang dapat kita li­hat di sekitar kita. Surga adalah sebuah tempat yang pe­nuh dengan kebahagiaan, dengan kebersihan yang sempurna. Tiap detail yang terwujud di sana berada dalam keserasian yang sempurna dengan setiap detail lainnya. Dalam cahaya ilus­trasi seperti ini, insan beriman senantiasa harus berupa­ya menjaga lingkungan mereka agar bersih dan mengalihkan ke­nangan mereka pada tempat-tempat yang mengingatkan mereka ke­pada surga.

5. Memakan Makanan yang Bersih
Mengonsumsi pangan bersih adalah satu perintah Ila­hi­ah yang harus selalu ada dalam kalbu semua makhluk beriman,

“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, melainkan mereka menganiaya diri mereka sendiri.” (al-Baqarah [2]: 57)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dan apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu meng­­ikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya se­tan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah [2]: 168)

Sebagai tambahan, Allah memasukkan dalam hitungan kelom­pok As-habul Kahfi untuk menunjukkan bahwa orang-orang ber­­iman cen­derung kepada makanan bersih. Sebagaimana dapat kita baca,

“…Seorang di antara mereka berkata, ‘Tuhan kamu lebih me­ngetahui berapa lama kamu sudah berada di sini. Utus­lah salah seorang dari kamu ke kota dengan uang pe­rakmu ini, agar dia bisa melihat makanan mana yang le­bih baik, dan membawakan makanan itu untukmu….” (al-Kahfi [18]: 19)

Kita akan kembali ke topik ini pada bab lain dalam judul, “Makanan Bermanfaat yang Disebut di Dalam Al-Qur`an”.


Berlatih, Berenang, dan Air Minum
Perilaku lain yang disebutkan dalam Al-Qur`an tercantum di dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan ungkapan Nabi Ayyub a.s.,

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tu­hannya, ‘Sesungguhnya, aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’(Allah berfirman) ‘Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.’” (Shaad [38]: 41-42)

Dalam menanggapi keluhan kesulitan dan penderitaan, Allah menasihati Nabi Ayyub a.s. supaya “menghentakkan kaki”. Nasihat itu dapat dianggap satu pertanda yang berkena­an dengan manfaat kegiatan olahraga dan berlatih.
Berlatih, khususnya melatih otot-otot panjang seperti ter­dapat pada otot-otot kaki (sebagai contoh: gerakan-gerak­an isometrik), melancarkan aliran darah dan, karena itu, me­ningkatkan volume oksigen untuk masuk ke sel-sel tubuh. Se­lain itu, berlatih me­ngurangi elemen-elemen racun dari tu­buh yang dapat melenyapkan penat, memberikan rasa lega dan kesegaran, dan memberikan kemampuan pada tubuh untuk mem­perbesar resistensi terhadap mikroba. Latihan teratur ju­ga menjaga urat-urat darah tetap bersih dan lebar, yang, dengan kondisi demikian, dapat mencegah: 1)penggumpalan pada urat-urat dan menurunkan risiko penyakit koroner arteri dan 2) mengurangi risiko diabetes dengan mempertahankan kadar gu­la darah pada taraf tertentu dan meningkatkan jumlah ko­les­­terol yang aman di dalam liver. Di samping itu, meng­hen­tak­­kan kaki ke tanah merupakan cara paling efektif untuk 3) me­lepaskan arus listrik statis yang sudah menumpuk di dalam tu­buh, yang kerap mengakibatkan badan kaku.
Sebagai tambahan, sebagaimana disebutkan ayat di atas, mandi diakui merupakan metode paling ampuh untuk menghilang­kan kebekuan arus listrik di tubuh. Ia juga melenyapkan ke­tegangan dan kerumitan pikiran, serta membersihkan badan. Karena itu, mandi merupakan satu penyembuhan efektif untuk stres dan banyak ketidakteraturan (gangguan) fungsi fisik dan ke­ji­wa­an.
Ayat tadi juga menarik perhatian kita pada manfaat-man­faat tak terhingga dari air minum. Hampir setiap fungsi ja­ringan tubuh dipantau dan dikendalikan agar menyerap air se­cara efisien melalui jalur pendistribusian. Fungsi-fungsi da­ri banyak organ tubuh (misalnya otak, kelenjar peluh, perut, usus, ginjal, dan kulit) sangat bergantung pada kecukupan distribusi air. Memastikan bahwa tubuh mendapat ja­­tah air yang cukup tidak saja membuat tubuh berfungsi lebih berdaya guna, bahkan mungkin menolong seseorang terhin­dar dari beragam masalah kesehatan. Peningkatan taraf kon­sum­si air telah terbukti membantu mengurangi berbagai ke­luh­an sakit kepala (migren, kolesterol darah ting­gi, sakit sa­luran rheumatoid penyebab rematik, dan tekanan darah ting­gi. Sebagai tambahan pada beragam manfaat tersebut, air ju­ga menghilangkan letih dan kantuk, sebab serapan air yang ter­atur dan mencukupi membantu menghilangkan anasir ra­cun dari tubuh.
Menaati semua anjuran ini, yang semuanya penting dan vi­tal bagi kesehatan raga dan mental kita, insya Allah akan mem­buahkan hasil terbaik.

Berjalan Kaki

Orang-orang congkak mengira sikap angkuh bisa menimbul­kan rasa kagum manusia lain. Dan, dengan begitu, secara ber­lebih-lebihan, mereka memamerkan gaya berjalan, ber­bi­ca­ra, dan memandang dengan penuh sikap sombong. Tanda-tanda aro­­gansi semacam itu tampak nyata dari gaya berjalan se­se­orang.
Ayat-ayat yang merujuk kepada nasihat bijak Luq­man kepada putra beliau mengungkapkan secara gamblang keangkuhan sikap dan penampilan seseorang,

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (ka­rena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Luqman [31]: 18)

Dalam ayat lain, orang-orang beriman dianjurkan untuk ti­dak berjalan dengan sikap angkuh,

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan som­bong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak da­­pat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sam­­pai setinggi gunung.” (al-Israa` [17]: 37)

Dengan ayat-ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bah­wa Dia tidak menyukai mereka yang sombong dan memperingat­kan kita agar menjauhi sikap seperti itu. Kita harus se­nantiasa ingat bahwa kesombongan setan, yang tampak dari tun­tutannya bahwa dia lebih tinggi dari makhluk-makhluk la­in­nya ciptaan Allah, yang menyebabkan dia tersingkir dari ha­dapan Allah. Orang beriman yang sadar akan keburukan kua­li­tas-kualitas seperti ini tentu saja menjauhi semua itu.
Tak seorang pun yang senang berada di sekitar orang som­bong. Siapa pula yang merasa nikmat berdampingan dengan orang-orang semacam itu? Umumnya setiap orang mengetahui bahwa orang-orang angkuh dan merasa diri lebih tinggi derajat­nya, dalam kenyataannya, tak lebih dari manusia biasa yang penuh dengan beragam ketidaksempurnaan dan kelemahan-ke­lemahan. Akibatnya, orang sombong, meskipun menderita oleh keangkuhan dirinya sendiri, takkan pernah mencapai tu­ju­an untuk menikmati prestise di kalangan manusia lain di se­kitarnya dan sering tercekam dalam kehinaan.
Al-Qur`an juga menekankan perhatian kita kepada kenyata­an bahwa orang-orang beriman harus memiliki sikap ber­ja­lan yang tidak berlebih-lebihan atau mengada-ada, seba­gai­ma­na yang disebutkan dalam ayat, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan....” (Luqman [31]: 19) Di dalam mematuhi perintah Allah, manusia yang sederhana akan berjalan dengan si­kap sederhana, dan dengan demikian meraih kemuliaan dalam pan­dangan Allah dan orang-orang beriman seluruhnya.

Intonasi Suara
Tinggi-rendahnya (intonasi) suara adalah bagian penting dari ung­kap­an perasaan positif seseorang. Bagaimana se­orang meng­gu­na­kan intonasi mencerminkan kualitas orang bersangkutan. Bahkan, suara merdu sekalipun dapat menyakiti ji­ka diartikulasikan dengan tidak sepatutnya. Allah menasiha­ti hamba-hamba-Nya melalui ucapan Luqman,

“... lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk su­ara ialah suara keledai.” (Luqman [31]: 19)

Seseorang yang bi­­ca­ra dalam suara keras atau menghardik orang lain tidak akan memberi kesan menyenangkan pada pi­hak lain. Di samping itu, pada kebanyakan kasus, hal se­per­ti ini terasa tak tertahankan, seperti mendengarkan ra­ung­an keledai.
Dengan kata lain, cara orang bicara adalah hal yang pen­ting. Suara orang yang sedang dirundung berang mungkin ter­dengar tak mengenakkan, meskipun suara lelaki atau perem­puan itu, dalam suasana normal, mungkin terasa sedap ditelinga. Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan lantunan suara tak sedap bisa saja terdengar lebih merdu kalau meng­ikuti nilai-nilai terpuji dari Al-Qur`an. Suara merdu, di pihak lain, mungkin saja terkesan menyerang dan tak ter­ta­hankan, jika orang itu angkuh dan berkesan menyakitkan. Karena suara orang tersebut, yang merupakan pantulan sifat ne­gatif diri, baik lelaki atau perempuan, cenderung ber­ke­luh kesah dan menghasut.
Sebagaimana halnya suara, mereka yang berakhlaq mulia selalu me­mi­liki sifat rendah hati, santun, bersahaja, damai, dan kon­struktif. Dengan sudut pandang positif dalam ke­hidupan, mereka selalu ceria, bersemangat, cerah, dan gembira. Sifat sempurna ini, yang timbul dari kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti dijelaskan dalam Al-Qur`an, termanifestasikan dalam lantun suara seseorang.

Luhur Budi
Al-Qur`an menginformasikan kepada kita bahwa manusia beriman pa­da kenyataannya adalah orang-orang yang sangat bermurah ha­ti. Akan tetapi, konsep Al-Qur`an tentang akhlaq mulia agak berbeda da­­ri yang secara umum ditemukan dalam masyarakat. Manusia me­warisi sifat santun dari keluarga mereka atau menyerapnya dari lingkungan masyarakat sekitar. Akan tetepi, pengertian ini ber­­beda dari satu strata ke strata lain. Wujud keluhuran bu­di yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau ba­gai­ma­na­pun, me­le­bihi dan di atas nilai dari pemahaman mana pun, ka­rena ia tidak a­kan pernah berubah, baik oleh keadaan mau­pun manusia. Mereka yang menyerap unsur akhlaq mulia, se­ba­gai­ma­na pandangan Al-Qur`an, memandang setiap manusia se­ba­gai hamba-hamba Allah, dan karena itu memperlakukan mereka de­ngan segala kebaikan, walaupun tabiat mereka mungkin saja ti­dak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi pe­nyim­pang­­an dan tingkah laku yang tidak patut, teguh dalam pen­di­rian, bahwa berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih sayang Allah, sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadits,
“Allah itu baik dan menyukai kebaikan dalam segala hal.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana ditunjukkan ayat berikut, Allah mendorong ma­nusia supaya berbuat baik dan santun kepada orang lain,

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari bani Is­rael, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan ber­buat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah ka­ta-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kamu selalu berpaling.” (al-Baqarah [2]:83)

Al-Qur`an menghendaki kebaikan kemutlakan. Dengan ka­ta lain, manusia beriman tidak boleh berpaling dari perilaku ba­ik, sekalipun kondisi lingkungannya tampak menginginkan ke­­burukan dan ketidaksenangan. Kelemahan fisik, kehabisan te­na­ga, atau kesukaran tidak akan pernah menghalangi mereka da­­ri keajekan mereka dalam kebaikan. Sementara itu, tak peduli mereka kaya atau miskin, menikmati kedudukan gemerlap atawa jadi orang dalam bui, manusia beriman memper­la­kukan setiap orang dengan baik, karena mereka sadar bahwa Nabi kita saw. menegaskan pentingnya tiap orang beriman untuk berbuat demikian, sebagaimana tersebut dalam hadits, “Manakala kebaikan ditambahkan pada sesuatu, itu akan mem­perindahnya; apabila kebaikan ditarik keluar dari se­suatu, itu akan meninggalkan cacat.”(HR Muslim). Mo­ral­itas agung ini diperkuat dalam ayat berikut, sebagaimana sudah diutarakan dalam bagian sebelumnya,

“... berbuat baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah kata kata yang baik kepada manusia....” (al-Baqarah [2]: 83)

Orang-orang beriman juga harus sangat berhati-hati ter­­hadap cara mereka memperlakukan orang tua mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan supaya mereka diperlakukan dengan segala kebaikan,

“Dan Tuhanmu telah perintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pa­da ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai ber­umur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali ja­ngan­lah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah ke­pa­da mereka perkataan yang mulia.” (al-Israa` [17]: 23)

Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan pentingnya meng­hormati orang tua. Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan da­ri keluarganya, untuk waktu lama, karena saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke dalam sebuah sumur. Tak lama ke­mu­di­an, beliau ditemukan oleh satu rombongan pedagang yang mem­ba­wanya ke Mesir dan menjualnya sebagai budak. Kemudian, ka­rena dakwaan palsu, dia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan dibebaskan, hanya berkat pertolongan Allah, untuk diangkat menjadi bendahara kerajaan Mesir. Ke­mu­di­an, setelah semua ini, beliau memindahkan seluruh ke­lu­ar­ga­nya dari Madyan ke Mesir dan menyambut mereka seperti ter­lukis dalam ayat berikut,

“Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merang­kul ibu bapaknya dan dia berkata, ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ Dan dia naikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana….” (Yusuf [12]: 99-100)

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Nabi Yusuf a.s., ter­lepas dari status terhormatnya, berperilaku yang luar biasa santun kepada kedua orang tuanya. Mengangkat keduanya ke atas singgasana, menandakan hormat dan cintanya kepada ke­duanya, dan juga menunjukkan akhlaqnya nan mulia.

Ramah Tamah
Bagi umat beriman, yang mengikuti moralitas Al-Qur`an, me­muliakan tamu mereka merupakan wujud kepatuhan pada salah sa­tu perintah Allah serta satu kesempatan untuk mengaplikasi­kan moralitas yang tinggi. Sebab itulah, hamba-hamba ber­iman menyambut tamu-tamu mereka dengan penuh takzim.
Di dalam masyarakat yang tidak beriman, orang umumnya meng­anggap tamu sebagai satu beban, baik dari sudut material maupun spiritual, karena mereka tidak dapat melihat ke­ja­di­an-kejadian semacam itu sebagai kesempatan untuk men­da­pat­kan kesenangan Allah dan memperagakan akhlaq mulia. Se­ba­liknya, orang yang tidak beriman beranggapan bahwa santun dan sopan pada tamu tak lebih dari merupakan keharusan ke­ma­s­yarakatan. Hanya karena mengharapkan suatu imbalan ke­ber­untunganlah yang menggugah mereka untuk ramah dan santun pada tamu.
Al-Qur`an secara khusus menekankan perhatian agar manusia ber­iman menunjukkan akhlaq mulia kepada tamu. Sebelum yang lain-lainnya, manusia beriman menyuguhkan hormat, cinta, da­mai dan santun kepada setiap tamu. Sambutan biasanya di­da­­sarkan pada mempersiapkan tempat dan kebutuhan-kebutuhan la­in­nya, yang tanpa ungkapan hormat, cinta, dan damai, ti­dak bakal menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat berikut, Allah mempertegas betapa Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun selain itu,

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (an-Nisaa` [4]: 86)

Sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, moralitas qur`ani mendorong ma­nu­sia beriman agar berlomba-lomba dalam amal kebaikan, wa­lau sekadar perbuatan biasa seperti menyam­but tamu, sebagai sa­tu sikap yang sudah dicontohkan di sini.
Al-Qur`an juga menginginkan kita memperlakukan tamu agar mereka merasa nyaman dengan menanyakan apa saja keperluan mereka, dan memenuhinya, sebelum sang tamu mengutarakannya. Cara Nabi Ibrahim a.s. melayani tamu beliau merupakan satu contoh bagus tentang ini dan merupakan peragaan satu wujud penting dari keramahtamahan,

“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ingatlah ketika mereka masuk ke tem­patnya lalu mengucapkan ‘Salamun!’; Ibrahim menja­wab ‘salaman’, kalian adalah orang-orang tidak di­ke­nal. Maka dia pergi secara diam-diam menemui keluar­ga­nya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang di­bakar), lalu dihidangkan kepada mereka (tetapi me­re­ka tidak mau makan).” (adz-Dzaariyaat [51]: 24-27)

Satu hal penting dari ayat-ayat ini yang menarik perha­tian kita: akan lebih baik kita lebih dulu menanyakan keperluan tamu, laki atau perempuan, sebelum dia memintanya, karena tamu yang sopan biasanya menunda-nunda me­nge­mu­ka­­kan keper­lu­an­nya. Di luar dari pemikirannya, tamu semacam ini bahkan mencoba menolak apa yang mungkin ditawarkan tu­an­/nyonya rumah. Bila ditanya apakah dia memerlukan se­suatu, sang tamu mungkin akan menjawab “tidak” dan ber­te­ri­ma kasih atas tawaran tersebut. Untuk alasan seperti itu, moral qur`ani akan memikirkan sejak awal tentang apa saja yang mungkin diperlukan tamunya.
Perilaku lain yang disukai berkenaan dengan hal ini ada­­­lah menawarkan bantuan tanpa menunda-nunda. Di atas sega­lanya, perilaku seperti ini mengedepankan rasa senang tu­an ru­­mah bila tamu merasa bahagia berada di sana. Sebagai­ma­na disebutkan ayat tadi, menawarkan sesuatu “dengan se­ge­ra” mengungkap kemauan tulus tuan/nyonya rumah untuk me­la­yani tamunya.
Tingkah laku mulia lainnya yang dapat dipetik dari ayat-ayat tadi adalah walaupun Nabi Ibrahim a.s. belum pernah kedatangan tamu sebelumnya, dia berupaya keras untuk me­­­­la­yani mereka sebaik mungkin dan bersegera menyuguhkan da­ging bakar “anak sapi gemuk”, sejenis daging yang terkenal sangat sedap rasanya, sehat dan bergizi. Dus, bisa kita tam­bahkan bahwa selain dari mencukupi layanan-layanan yang te­lah disebutkan, tuan/nyonya rumah harus pula mempersi­ap­kan dan menawarkan makanan kualitas prima, enak, dan segar.
Di luar semua ini, Allah juga menekankan perhatian akan daging yang hendak disajikan untuk tamu.


Konsep Kebijaksanaan Pilihan di Dalam Al-Qur`an


Al-Qur`an selalu menekankan konsep kebijaksanaan. Kuali­tas ini dikhususkan untuk orang-orang beriman. Namun, ma­nu­sia menggunakan istilah-istilah bijaksana dan cerdik itu bertukar-balik. Oleh sebab itu, per­­bedaan makna di antara kedua kata tersebut selalu membingungkan, dengan ang­gap­an, yang tentu saja keliru, bahwa orang cerdik dengan sen­di­ri­nya bi­jak­sana. Bijaksana, bagaimanapun, adalah memahami bah­wa Allah hanya meridhai insan-insan beriman. Itu berarti memberdayakan manusia untuk menganalisis dan memahami hal yang dikemukakan ini secara tepat agar mereka mengenal hu­kum alam sebenarnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah de­ngan setepat-tepatnya. Berbeda dengan pengertian awam, bi­jak­sana tak ada kaitannya dengan kepintaran seseorang; bah­kan itu merupakan hasil dari keteguhan keyakinan se­se­orang. Dalam banyak ayat, Allah merujuk pada orang-orang tidak beriman sebagai “manusia tanpa kebijaksanaan”.
Kepintaran seseorang tampak dari reaksi seseorang saat meng­hadapi kejadian tak terduga dan situasi runyam. Dibanding­kan dengan reaksi dari mereka yang tidak punya pema­ham­an mendalam tentang adanya Allah, dan karena itu disebut tidak punya wisdom (kebijaksanaan), dengan mereka yang memiliki keyakinan kuat, tampak perbedaan kadar kebijak­sa­na­an masing masing kelompok itu. Bila dihadapkan pada ke­ja­di­an-kejadian mendadak, manusia beriman tetap bersikap mo­de­rat dan menggunakan kebijakan mereka untuk mendapatkan pe­mecahan serta-merta dan tak sia-sia, terlepas dari ke­ru­mit­an situasi. Pendirian bijaksana semacam itu merupakan ha­sil dari pemahaman mereka pada Al-Qur`an, yang Allah ung­kap­kan sebagai satu “kriteria dari pertimbangan antara be­nar dan salah” dan hidup mengikuti perintahnya.
Setiap orang dapat merancang beragam pola pemecahan ma­­salah bila dihadapkan pada situasi yang menghendaki kewas­padaan dan kebijakan. Dan, dengan begitu mereka dapat mencegah kerugian. Namun, tidak ada solusi yang sepasti dan seabadi daripada apa yang diberikan oleh Al-Qur`an, karena berasal dari Allah, yang Maha Mengetahui. Orang beriman yang bertawakal pada Al-Qur`an dan telah dengan kokoh menggenggam “semua petuah ayat-ayatnya,” tentu mendapatkan beragam hasil yang diharapkan dalam segala urusan mereka.
Dalam bab berikut, kita akan menyoroti berbagai hal tentang tindakan-tindakan bijak arahan Al-Qur`an yang diran­cang untuk membimbing orang-orang beriman.

Menganalisis Berbagai Tahapan
Kemungkinan dalam Perkembang­an
Adanya kemampuan untuk memikirkan secara menyeluruh se­belum mengawali suatu tugas, menaksir-naksir tahapan-tahap­an kemungkinan menjelang pelaksanaannya, memperhitungkan ke­mungkinan beragam situasi dan akibatnya yang dapat ter­ja­di merupakan tanda-tanda signifikan dari kebijaksanaan. Orang yang tidak bijaksana gagal mempertimbangkan hal-hal ter­­selubung ini dan abai mempertimbangkan pro-kontra se­be­lum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Ke­te­le­doran sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.
Metode Nabi Ibrahim a.s. dalam menyebarkan wahyu Allah ke­pada kaumnya dapat dijadikan teladan uniknya kemampuan ber­pikir menakjubkan dari orang beriman. Kaumnya, yang penyem­bah berhala batu pahatan, bersikeras pada kepercayaan se­sat mereka, memuja patung, meskipun tidak se­utuh­nya mereka yakin akan kebenarannya. Sebab itu, Nabi Ibrahim a.s. me­mutuskan untuk menggunakan metode lain dan menyiapkan sa­tu rencana tahapan tindakan berkelanjutan.
Dalam rangka membuktikan kepada kaumnya, bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak bermakna selain dari ke­ping­an-kepingan batu belaka, beliau memutuskan untuk meng­han­curkan berhala-berhala tersebut. Tapi sebelum rencana di­laksanakan, dia telusuri metode bijaksana yang paling te­pat, dengan lebih dulu memastikan tidak ada seorang pun yang melihat perbuatannya. Metode itu tergambar dalam ayat berikut,

“Dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya, aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membelakang.” (ash-Shaaffat [37]: 89-90)

Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah ayat, segera se­­telah beliau sampaikan bahwa dirinya sakit, orang-orang di sekelilingnya meninggalkan tempat itu dan membiarkan dia sen­dirian bersama berhala-berhala itu. Kisah selanjutnya adalah sebagai berikut.

“’Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya ter­hadap berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkan­­nya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu han­cur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) da­ri patung-patung yang lain; agar mereka kembali (un­tuk ber­tanya) kepadanya.” (al-Anbiyaa` [21]: 57-58)

Nabi Ibrahim a.s. menghancurkan semua berhala batu tersebut, kecuali yang terbesar, yang jadi sosok pujaan kaum­nya, karena mereka anggap memiliki kekuatan besar. Tidak la­ma kemudian, kaumnya datang menghampiri Nabi Ibrahim dalam keadaan marah,

“Mereka bertanya, ‘Kamukah yang melakukan pebuatan ini ter­hadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang me­lakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata, ‘Sesung­guh­nya, kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (di­ri sendiri).’” (an-Anbiyaa` [21]: 62-64)

Dengan mencermati ayat-ayat bersangkutan secara menyelu­ruh, nyatalah bahwa Nabi Ibrahim a.s. mewujudkan rencana be­liau secara bertahap dengan sangat bijaksana. Hasil­nya, beliau mendapatkan apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya, ka­umnya yang memuja berhala mulai menyadari bahwa patung satu-satunya yang tersisa tidak punya kemampuan untuk me­no­long mereka. Patung besar ini, seperti juga berhala yang la­in­nya yang sudah hancur berantakan, tak lebih dari ke­ping­an batu yang tak bisa melihat, mendengar, atau ber­bi­ca­ra. Lebih penting lagi, batu-batu itu tidak mampu me­lin­dungi diri mereka sendiri. Inilah pesan yang sesungguhnya disampaikan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya: Jauhi pe­nyem­bah­an batu dan sembahlah Allah, sang Maha Pencipta seluruh alam raya.
Nabi Ibrahim a.s. telah menganalisis kemungkinan-kemung­kinan yang mungkin timbul dan mendapatkan hasil yang di­harapkan. Tamsil ini, bersama dengan banyak contoh serupa yang terhampar di dalam Al-Qur`an, menandaskan bahwa memperhitungkan situasi lingkungan serta sisi psikologis ma­nu­sia agaknya cukup efisien untuk mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki. Orang-orang beriman yang bijak lestari se­­lalu memperhitungkan pelaksanaan satu tugas, tahap demi tahap, dan dengan cermat mempertimbangkan faktor dan elemen yang bakal membawa hasil jangka panjang. Sementara itu, tin­dakan-tindakan berlandaskan Al-Qur`an yang mereka wujudkan, sebagaimana juga inisiatif yang mereka prakarsai untuk tu­juan baik, tidak akan membawa kerugian di kemudian hari.

Sahabat Andalan
Sebelum pergi menemui Fir’aun untuk menyampaikan pesan Allah, Nabi Musa a.s. meminta persetujuan Allah agar mengizin­kan saudaranya, Harun a.s., untuk menyertainya, seperti dapat kita baca dalam ayat berikut,

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluarga­ku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia ke­kuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, su­pa­ya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak meng­ingat Engkau. Sesungguhnya, Engkau Maha melihat (ke­ada­an) kami.” (Thaahaa [20]: 29-35)

Sebagaimana penjelasan ayat-ayat itu, adalah bijaksana untuk mendapatkan sahabat andalan bila menghadapi satu tugas penting. Sesungguhnya, Allah mengabulkan do’a ini. Ayat ber­ikut menegaskan manfaat-manfaat lahiriah dan batiniah dari keikutsertaan teman andalan,

“Allah berfirman, ‘Kami akan membantumu dengan saudara­mu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang be­sar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu ber­dua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.’” (al-Qashash [28]: 35)

Bila orang-orang beriman berpegang pada metode ini, me­­reka dapat saling menolong bila salah seorang dari mereka ga­gal atau keliru. Di samping itu, sudah menjadi fakta, ada­­lah lebih mudah bagi dua insan beriman untuk terus memelihara keadaan mengingat kepada Allah, sebab mereka dapat saling mengingatkan terhadap tugas ini manakala pikiran sa­­lah seorang dari mereka mulai bimbang. Ini satu rahasia lain yang diungkapkan ayat tersebut.
Tentu saja, masih banyak manfaat lain yang dapat diraih dari kehadiran sahabat andalan. Keberadaan insan ber­iman la­innya di sisi seseorang dapat menjamin keamanan mereka, se­bab orang yang abai meramalkan suatu bahaya mungkin bisa di­selamatkan oleh tindakan teman pendamping untuk mencegah ri­siko yang mungkin menerpa.

Pembagian Tugas
Allah bersumpah atas sejumlah hal di dalam Al-Qur`an un­tuk menekankan pentingnya hal-hal tersebut untuk diperhatikan. Salah satunya mengenai pembagian tugas.
Dengan bersumpah demi, “(malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,” (adz-Dzaariyaat [51]: 4) Allah menegas­kan manfaat dari perkongsian. Dengan mematuhi nasihat ini, agar mendistribusikan kerja di antara orang-orang beriman, banyak waktu dapat dihemat dan memungkinkan mereka me­nye­le­sai­kan tugas lebih cepat tinimbang di kerjakan seorang di­ri. Ternyata, satu tugas yang memerlukan sepuluh jam untuk di­se­le­sai­kan satu orang dapat diselesaikan dalam hanya satu jam ji­ka sepuluh orang dilibatkan di dalamnya.
Keuntungan lain adalah tercapainya kualitas hasil akhir yang lebih ting­gi. Dari kerja sama semacam ini, tiap peserta dapat mengambil kearifan, pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dari mereka yang turut serta dalam pekerjaan tersebut.
Sebagai tambahan, manakala sejumlah orang dilibatkan da­lam pelaksanaan suatu tugas, kesalahan dan kekeliruan poten­si­al dan kerusakan, yang acap timbul dari ketergesa-gesaan, bisa banyak dikurangi.
Dalam masyarakat tidak beriman, orang umumnya cenderung memonopoli satu pekerjaan untuk diri sendiri dan tidak per­lu berkongsi dengan orang lain; tujuannya agar semua peng­hargaan dan imbalan yang diberikan oleh mereka yang me­nik­mati hasil pekerjaan itu menumpuk pada si pemborong sen­diri. Pembagian kerja dapat menghapus kerakusan semacam itu dan melenyapkan keinginan jelek untuk memborong keuntungan da­ri keberhasilan suatu proyek. Betapapun, suksesnya sebuah pro­yek tak lepas dari keikutkesertaan kebijakan, penge­ta­hu­an, dan pengalaman sejumlah orang, sehingga tak seorang pe­ser­ta pun berhak menyombongkan diri sabagai orang yang pa­ling besar andilnya. Sesungguhnya, orang-orang beriman ti­dak­lah mencari-cari superioritas diri, sebab segala sesuatu yang mereka inginkan adalah kesenangan Allah swt. atas amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Pembagian kerja juga mendatangkan manfaat lain: bekerja secara kolektif untuk keperluan bersama akan mempererat per­sahabatan, persaudaraan, dan kesetiaan sesama peserta. Bah­kan, lebih dari itu, kerja sama memungkinkan seseorang me­ngenal keindahan dan keahlian orang lain dan menepis nafsu serakah dari kalbu orang bersangkutan, dan akhirnya mem­buat dia jadi orang sederhana (moderat).
Bekerja bersama untuk mendapatkan kesenangan Allah mem­buat para peserta merasa saling dihargai, disenangi, dan ber­­bakti, karena suasana yang melandasi kerja semacam itu. Ti­ap upaya yang mereka kedepankan untuk memenuhi tugas yang diemban mencerminkan cinta dan pengabdian kepada Al­­lah. Menyadari kenyataan ini adalah faktor lain yang menyuburkan persaudaraan di kalangan orang-orang beriman.
Malam untuk Beristirahat, Siang untuk Bekerja
Al-Qur`an menyatakan siang hari adalah waktu untuk ber­aktivitas, sementara malam hari lebih baik dimanfaatkan un­tuk istirahat. Ayat yang berkenaan dengan hal itu adalah,

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu ber­­istirahat padanya dan (menjadikan) siang terang ben­derang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguh­nya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus [10]: 67)

Dengan meneliti tubuh manusia ter­ung­kaplah bahwa metabo­l­isme tubuh sudah diatur supaya beristirahat waktu malam dan bekerja pada siang hari. Kala mentari mulai terbenam, ke­­lenjar otak, yang berada di landasan otak, mulai mem­ben­dung melatonin. Ini membuat orang jadi kurang siaga. Fung­si ker­ja otak menurun dan suhu badan anjlok. Semua reaksi tu­buh terhadap kegelapan akhirnya merendahkan produktivitas se­seorang.
Dengan munculnya waktu fajar, peringkat melatonin berku­rang dan hormon-hormon diaktifkan. Sementara itu, suhu ba­dan meningkat dan fungsi-fungsi otak mencapai tingkat mak­simum. Faktor-faktor ini memberi sumbangan pada kesiagaan, perhatian, dan produktivitas seseorang. Fakta-fakta se­per­ti ini membawa kearifan seperti yang disebutkan dalam ayat,
“Allah menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya.”

Merahasiakan Informasi Penting terhadap
Orang yang Bermaksud Jahat
Al-Qur`an menegaskan pentingnya untuk tidak menyebarkan informasi penting kepada orang-orang yang mempunyai mak­sud je­lek, yang menyukai informasi semacam ini untuk me­len­­­­ceng­kan sesuatu yang baik dari orang-orang beriman. Oleh ka­re­na­ itu, bila orang seperti itu tahu bahwa sesuatu yang baik bakal terjadi pada orang yang tidak dia sukai, ke­cem­bu­ru­an orang tadi akan menghadang in­for­masi tersebut sampai kepada orang yang dibencinya itu dengan beragam upaya.
Al-Qur`an memberikan informasi pada kita tentang sauda­ra-saudara lelaki Nabi Yusuf a.s., yang tergolong orang-orang buruk keinginan. Karena kecemburuan mereka pada Nabi Yusuf a.s.—ayah mereka (Nabi Ya’qub) sangat mencintai adik mereka itu—maka mereka menyimpan dendam di hati. Nabi Ya’qub a.s., yang mengetahui adanya maksud jahat yang terpen­dam di hati anak anaknya itu, menasihatkan Yusuf supaya ti­dak mengungkapkan rahasia mimpinya kepada mereka. Dia tahu mimpi itu, yang mengabarkan pada Yusuf bahwa dia hamba pilihan Allah dan dianugerahi banyak karunia, akan membuat saudara-saudaranya tambah marah. Ayat-ayat Al-Qur`an men­ce­ri­takan,

“(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, ma­ta­hari, dan bulan, kulihat semuanya tunduk padaku.’ Ayah­­nya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mim­pimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka mem­bu­at makar (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya, se­tan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dan de­mi­kianlah, Tuhanmu, memilihkamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi mim­pi dan disempurnakan-Nya kepadamu dan kepada ke­lu­ar­ga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nik­-mat­nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ib­ra­him dan Ishaq. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Me­nge­ta­hui lagi Mahabijaksana.’” (Yusuf [12]: 4-6)

Allah menyeru manusia merenungkan peristiwa ini, “Sesung­guhnya, ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (ki­sah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf [12]: 7) Tetap waspada kala berada di te­ngah-tengah mereka yang memiliki maksud buruk dan menolak in­formasi penting dari mereka merupakan pelajaran berguna yang bisa dipetik dari ayat-ayat ini.

Mengambil Tindakan Dini
Tindakan lain yang Allah tekankan kepada ki­ta adalah agar kita segera bereaksi bila berhadapan dengan satu situasi yang harus ditangani. Di dalam Al-Qur`an, Allah menunjukkan kepada kita satu sikap yang dipraktikkan Nabi kita saw. sebagai contoh,

“Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari da­ri rumah keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Men­de­ngar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran[3]: 121)

Seperti disebutkan ayat, dalam suasana perang, Nabi Mu­­ham­mad saw. meninggalkan rumah beliau pada dini hari untuk memberikan pengarahan kepada para pengikut beliau berkenaan dengan tugas-tugas mereka dan mempersiapkan mereka terhadap apa yang bakal terjadi. Selama 1400 tahun, apa yang dipraktikkan Nabi kita saw. telah membimbing dan memberi semangat kepada orang-orang beriman.
Orang yang cepat bertindak mendapatkan cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Tambahannya, satu situasi tak ter­­duga atau satu penundaan tidaklah mendatangkan tekanan tam­bahan, sebab mereka punya cukup waktu untuk menghadapi masalah masalah ini.
Berada dalam keadaan tidak tergesa-gesa dapat secara psi­kologis dapat meningkatkan derajat kelegaan jiwa seseorang, sedangkan keterbatasan waktu dapat mem­­buat orang panik dan gelisah. Dua keadaan pikiran yang merintangi kemampuan orang berkonsentrasi, mengemukakan alasan, dan merancang pemecahan masalah yang tepat. Sebaliknya, waktu yang cukup memadai memungkinkan orang bekerja dengan kedamai­an pikiran dan nir-tekanan, mencurahkan perhatian dan kearifan mereka pada pemecahan masalah, dan dengan begitu membuka peluang memformulasikan keputusan terbaik.

Waspada di Waktu Malam
Meskipun Allah sudah menentukan malam sebagai waktu un­­tuk ketenangan, Al-Qur`an menyeru kita supaya waspada mela­lui ayat berikut,

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari ke­ja­hat­an malam apabila telah gelap-gulita.’” (al-Falaq [113]: 1-3)

Malam, khususnya saat gelap gulita, membatasi kemampuan keandalan tertentu manusia dan menjadikannya jauh le­bih sulit mengambil tindakan-tindakan pengamanan diri. Pada wak­tu malam, akan lebih sulit mempradugakan bahaya, yang ar­tinya: bahwa tingkat kepedulian seseorang tambah menurun. Fak­tor utama di belakang meningkatnya taraf risiko adalah keinginan orang-orang tidak beriman untuk terlibat dalam tin­dak kejahatan di bawah selubung kegelapan, yang me­lin­dungi mereka dari pandangan orang lain. Angka statistik ke­ja­hatan pembunuhan, pencurian, dan banyak lagi kegiatan ke­gi­at­an tidak legal dan berbahaya mengungkapkan bahwa per­bu­at­an perbuatan durjana mereka itu cenderung lebih tinggi volumenya mulai tengah malam hingga waktu fajar.
Al-Qur`an juga menyatakan bahwa orang-orang tak beriman cenderung menyakiti/mengganggu orang beriman di malam ha­ri. Seperti dapat kita baca,

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak ber­sembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ke­tika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan ra­hasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Me­liputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (an-Nisaa` [4]: 108)

Dalam ayat lain, Allah memberi tahu kita tentang satu makar jahat terhadap Nabi Salih a.s. oleh orang-orang tidak beriman yang memendam kebencian mendalam ter­hadap beliau, dan mengingatkan kita supaya berhati-hati ter­hadap rencana rencana jahat semacam itu,

“Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bah­wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada wazirnya (bahwa) kita tidak menyak­sikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (an-Naml [27]: 49)

Orang-orang beriman adalah mereka yang meng­am­bil peringatan-peringatan Allah dengan penuh keyakinan, dan dengan begitu mengenggam erat pandangan rasional atas semua pe­ristiwa, menerapkan segala jenis kewaspadaan guna melindungi keselamatan mereka di malam hari. Khususnya kala be­per­gian, bekerja, atau bahkan waktu tidur, mereka tetap awas terhadap kemungkinan datangnya bahaya. Tapi, orang harus ingat bahwa semua perhatian ke arah itu tidak setara de­ngan kejahatan, karena itu manusia beriman di samping meleng­kapi persyaratan kewaspadaan yang diperlukan; lalu me­mas­rah­kan diri mereka pada ketentuan Allah.

Tidak Bertindak Sendirian
Dari catatan Al-Qur`an tentang para nabi terdahulu, yang melanjutkan pengabdian sebagai panutan untuk semua orang beriman karena kepatuhan mereka pada berbagai perintah dan larangan Allah, kita mengetahui bahwa setiap Nabi di­­temani seorang pendamping, khususnya waktu menjalankan satu misi penting. Sebuah contoh tipikal adalah Nabi Musa a.s. yang didampingi saudaranya sendiri, Harun a.s.. Sebelum me­­nemui Fir’aun, yang sangat membenci dirinya, Nabi Musa a.s. ber­­­munajat kepada Allah agar memperkenankan Harun a.s. m­e­­ne­mani beliau sebagai teman pendamping,

“Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku un­tuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku kha­wa­tir mereka akan mendustakanku.” (al-Qashash [28]: 34)

Di samping itu, kehadiran pendamping dapat mengurangi nya­­li dan kegetolan mereka yang punya maksud maksud jahat. Se­dangkan kesendirian lebih mendorong mereka untuk me­lam­pi­as­kan niat buruk mereka.
Perjalanan Nabi Musa a.s. dan seorang muridnya adalah sa­tu contoh lain,

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke per­temuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan bertahun-tahun.’ Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu me­lompat mengambil jalannya ke laut itu.” (al-Kahfi [18]: 60-61)

Sebagaimana disebut pada ayat berikutnya, Nabi Musa men­dapat keuntungan dari teman dalam perjalanan panjang itu. Praktik seperti ini, sebetulnya, merupakan satu bentuk ke­waspadaan yang bijaksana. Karena berjalan sendirian ke tem­­­pat jauh dengan orang yang tidak mengenal kondisi dan si­­tuasi wilayah bisa jadi petualangan meragukan, kalau bukan lebih jelek taruhannya. Dalam hal ini, panduan dan du­kung­­an orang lain, dalam artian material dan spiritual, me­ru­pakan pertolongan besar bila seseorang harus mengatasi ke­su­litan kesulitan yang sangat mungkin ditemui selama dan se­sudah perjalanan.
Al-Qur`an membeberkan perjalanan Nabi Muhammad saw. da­ri Mekah ke Madinah sebagai contoh lain,

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguh­nya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Me­kah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika ke­duanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada te­mannya, ‘janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan se­ru­an orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Ma­ha­bi­­jak­sana.” (at-Taubah [9]: 40)

Mereka yang memusuhi Nabi saw. ingin menangkap dan mem­bunuh beliau, dengan demikian akan melenyapkan pengaruhnya atas para pengikut beliau. Kalaulah Nabi saw. seorang di­ri, di bawah tekanan risiko dan berbahaya itu, tak di­ra­gu­­kan lagi, kaum penyembah berhala pasti memanfaatkan ke­sem­patan mewujudkan ambisi-ambisi jahat mereka. Itu se­bab­nya Nabi kita saw. selalu ditemani oleh setidak-tidaknya sa­tu orang beriman. Praktik inilah yang terus-menerus mem­bim­bing kaum muslimin hingga hari ini.

Hidup di Tempat-Tempat Aman
Kondisi-kondisi di sekeliling para Nabi dan pengikut-pengikut mereka dalam kurun perjuangan mereka menghadapi ke­pungan kaum musyrikin dan jahiliah telah mengharuskan para utusan Allah itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Tekad ku­at untuk hidup sesuai dengan kaidah prinsip Islam seraya me­nyebarkan pesan Allah, betapapun, telah direspons dengan si­kap permusuhan dan kekerasan oleh puak-puak masyarakat se­kitar. Dalam banyak kasus, sikap memusuhi itu bahkan menju­rus ke upaya-upaya membunuh sejumlah nabi.
Kaum beriman berkeyakinan bahwa segala sesuatu ter­ja­di atas kehendak Allah. Kalau mereka diserang, mereka yakin ada hikmah yang terselip di dalamnya, sebab Al-Qur`an menegas­kan adanya kebaikan pada tiap peristiwa. Maka orang ber­iman yang tidak takut pada siapa atau apa pun selain dari Allah, menempuh cara cara rasionil dan meningkatkan ke­was­pa­da­an untuk menggagalkan rencana makar terhadap mereka.
Salah satu wujud kewaspadaan itu adalah membangun perbentengan kokoh dan aman di sekeliling tempat tinggal dan kota mereka. Al-Qur`an menginformasikan kepada kita ten­tang dua orang yang beperkara yang datang kepada Nabi Dawud a.s..

“Dan adakah sampai kepadamu berita tentang orang-orang beperkara ketika memanjat pagar?” (Shaad [38]: 21)

Ayat ini, yang berhubungan dengan upaya mereka untuk menemui Nabi Dawud, juga memberi gambaran kepada kita tentang tempat tinggalnya. Mungkin itu satu tempat berteduh yang aman dikelilingi tembok tinggi dan tak mudah diserang.
Wujud kewaspadaan lain yang disebut dalam Al-Qur`an ada­lah memelihara anjing di pintu-pintu masuk dan meningkat­kan keamanan. Seperti dapat kita baca,

“Dan kamu mungkin mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan terhadap mereka.” (al-Kahfi [18]: 18)

Pemuda-pemuda ini, yang disebut Al-Qur`an sebagai “As-habul Kahfi”, berlindung di dalam sebuah gua dari pe­ngu­asa tirani di masa itu, yang sangat membenci agama. Seperti sejumlah ayat memberitakan pada kita, Allah menghendaki mere­ka tetap dalam keadaan tidur untuk waktu bilangan tahun. Da­ri ayat-ayat tersebut, kita mengetahui bahwa selama bi­lang­an tahun itu mereka menempatkan seekor anjing di pintu gua untuk menjaga keamanan mereka.

Menghasilkan Solusi yang Tangguh dan Bertahan Lama

“Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pemba­yaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata, ‘Apa yang telah di­kuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah le­bih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan(manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gu­nung itu, berkatalah Dzulqarnain, ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, ”Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melubanginya.” (al-Kahfi [18]: 94-97)

Pelajaran yang dapat diambil dari sini sudah dijelaskan sendiri oleh ayat yang kita baca: Tinimbang bergantung pada pengamanan lemah dan tidak tangguh, Dzulqarnain me­mi­lih teknologi canggih di masanya, mulai dari bahan hingga pa­da metode konstruksi, untuk membangun perbatasan yang tak ter­tembuskan, agar keamanan masyarakat di sana dapat di­pu­lih­­kan. Sebagai kewaspadaan kedua, dia tuangkan cairan tem­ba­ga mendidih ke atas pagar besi itu.
Inilah tingkat kewaspadaan yang disediakan Al-Qur`an un­tuk orang-orang beriman. Sejalan dengan rekomendasi-rekomendasi tersebut, setiap keadaan yang tidak disukai atau ti­dak menguntungkan, kecil ataupun besar, harus dihindarkan se­suai dengan kemampuan orang-orang beriman merancang pem­ba­ngunan proyek-proyek yang kokoh, tangguh, dan tak ter­tem­bus­kan oleh sembarang serangan.
Menolak Memberikan Informasi kepada Orang yang Bermaksud Jahat Akan Mengungkap Kelemahan Mereka
Mereka yang memendam benci dan cemburu terhadap orangorang beriman, siap menggunakan setiap peluang untuk me­mu­as­kan perasaan-perasaan itu. Oleh sebab itu, insan beriman ja­ngan sekali-kali memberi kesempatan apa pun kepada mereka untuk merancang serangan terselubung.
Allah minta perhatian kita pada masalah ini dengan mengkaitkannya pada kisah Nabi Yusuf a.s.. Saudara-saudara beliau yang seayah berkomplot untuk membunuhnya karena deng­ki dan cemburu, sebab ayah mereka yang sangat menyayangi Yusuf. Menurut perkiraan mereka, bila Yusuf sudah ti­ada, kasih sayang ayah akan beralih pada mereka. Untuk men­ca­pai tujuan tersebut, mereka merancang siasat busuk se­per­ti tersebut dalam surah Yusuf, sebagai berikut.

“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, apa sebabnya engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguh­nya kami adalah orang-orang yang mengingini ke­ba­ik­an baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pa­gi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) ber­­main-main, dan sesungguhnya kami pasti menja­ga­nya.’ Ya’qub berkata, ‘Sesungguhnya, kepergian kamu bersama Yu­suf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.’” (Yusuf [12]: 11-13)

Sebagaimana kita pahami dari ayat-ayat ini, Nabi Ya’qub a.s. tahu bagaimana perasaan putra-putra beliau terha­dap Yusuf a.s. dan tidak menyetujui saran mereka. Dia merasa khawatir kalau-kalau serigala menyerangnya selagi mereka asyik bermain. Saudara-saudaranya, yang akhirnya mem­­bawa Yusuf bersama mereka, memasukkan dia ke dalam sebuah sumur, lalu membawa pulang baju yang dilumuri darah palsu untuk diperlihatkan kepada ayah mereka, seraya berkata­,

“’... Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba- lom­ba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau sekali-ka­li tidak akan percaya pada kami, meskipun kami adalah orang-orang yang benar.’ Mereka datang membawa baju ga­misnya (yang berlumuran) dengan darah palsu….” (Yusuf [12]: 17-18)

Seperti perkabaran ayat-ayat ini, saudara-saudara Nabi Yu­suf berusaha membenarkan pengkhianatan mereka dengan meman­fa­at­kan keprihatinan Nabi Ya’qub yang telah beliau ucap­kan sebelumnya. Yang dapat kita pahami dari ayat-ayat ter­ka­it bahwa kita tidak seharusnya mengikuti kehendak buruk se­macam itu dan tipu daya orang-orang pembuat kerusakan yang telah membuka aib mereka sendiri.

Mempertimbangkan Segala Alternatif Seraya Terus Waspada
Acuh tak acuh merupakan predikat unik bagi manusia yang bersikap masa bodoh. Sesungguhnya, dalam kelompok-kelom­­pok masyarakat masa bodoh banyak masalah yang tidak ter­-se­le­saikan, karena manusia-manusianya cenderung tidak pe­du­li. Itu sebabnya orang-orang yang hidup dalam masyarakat ma­sa bodoh selalu menanggung derita sebagai konsekuensi ke­t­e­ledoran dan sikap tidak peduli.
Dalam Al-Qur`an, Allah menegaskan kekeliruan sikap ini dan mendorong orang-orang beriman supaya peduli dengan saksama dalam mengambil beragam tindakan.
Dari ayat berikut, kita pahami bahwa cermat mempertimbang­­kan segala alternatif merupakan sifat perilaku yang pa­ling tepat,

“Dan Ya’qub berkata, ‘Hai anak-anakku janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu pin­tu gerbang berbeda; namun, aku tiada dapat melepaskan kalian barang sedikitpun dari (takdir) Allah. Ke­pu­tusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; ke­pa­da­-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.’” (Yusuf [12]: 67)

Nabi Ya’qub a.s. menasihatkan putra-putra beliau, waktu me­reka hendak pergi ke Mesir, agar memasuki kota melalui se­jumlah pintu gerbang. Hal ini benar-benar merupakan satu tin­­dakan bijaksana, karena hal itu menjamin keselamatan jiwa dan harta. Kalaulah mereka masuk lewat satu pintu sa­ja, besar kemungkinan mereka dihadang bahaya. Dengan meng­ap­likasikan ketinggian ilmu seseorang, yang Allah anu­ge­rah­kan kepada kemanusiaan agar mereka bisa mempertimbangkan me­tode terbaik mana hendak dipakai, adalah suatu ke­bi­jak­sa­na­an yang terselubung di bawah nasihat ini. Inilah satu si­kap bijaksana sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Lebih jauh, pe­­luang seperti ini dengan jelas mengungkap perbedaan an­ta­ra kebijaksanaan orang beriman dengan keteledoran orang ti­dak berakal.
Ingatlah, semua tindakan menuju perolehan hasil yang ber­tahan lama merupakan satu bentuk dari do’a. Sesungguhnya, tak ada rencana atau tindakan, betapapun canggihnya, yang da­pat mencegah apa yang sudah Allah takdirkan. Fakta pen­ting ini ada kaitannya dengan nasihat Nabi Ya’qub a.s. kepada putra-putra beliau,

“Dan tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf mem­bawa saudaranya (Bunyamin) ke tempatnya, Yusuf berka­ta, ‘Sesungguhnya, aku ini adalah saudaramu, maka ja­nganlah kamu berdukacita terhadap apa yang telah mereka kerjakan.’” (Yusuf [12]: 69)

Metode-Metode Qur`ani untuk
Mendakwahkan Islam


Sepanjang kurun sejarah, Allah telah mengutus para rasul silih berganti untuk menyampaikan fakta tentang eksis­tensi-Nya dan adanya hari akhir secara jelas, dan menyu­ruh mereka menyembah hanya Dia. Allah memberitahukan kita bah­wa para utusan-Nya, beserta orang-orang beriman, sudah di­­percayakan dengan tugas ini,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran [3]: 104)

Orang-orang beriman hanya disuruh mempermaklumkan Islam. Maknanya, mereka hendaknya menyampaikan perintah Allah kepada manusia dan menyeru mereka menuju kepada moralitas Al-Qur`an. Allah membimbing dan memberikan pengertian ke­pa­da manusia. Dalam hubungan ini, orang-orang beriman diberi kewajiban hanya untuk penggunaan metode-metode yang di­sebutkan di dalam Al-Qur`an; mereka tidak berkewajiban untuk mempercayainya atau tidak.
Untuk mempermudah tugas mereka, Allah memberi petunjuk kepada orang-orang beriman melalui perintah-perintah yang mudah dimengerti dan terdapat di dalam Al-Qur`an. Tingkah perbuatan para utusan Allah juga jadi contoh untuk umat beriman. Di dalam bab ini, kita akan mengulas metode-metode mendakwahkan pesan itu dan cara mengatasi situasi-situasi yang berubah-ubah dalam melaksanakan tugas mulia ini.