Kamis, 07 Oktober 2010

Balada Sandal Jepit


Pada hari Kamis, sandal jepitku putus. Alhamdulillah, dengan uang 5000 rupiah aku bisa membeli sandal jepit yang baru. "Jadi, besok aku tidak harus kepanasan untuk pergi jum'atan."

Menjelang shalat Jum'at, aku letakkan sandal di tempat yang agak tersembunyi dengan pertimbangan, dengan begitu banyaknya sandal berserakan di kaki tangga masjid, bisa saja ada yang tertukar. "Sandal ini masih baru, sekalipun ku beli murah saja,"

Ba'da jum'at.
Seorang bapak gelisah, hilir mudik kitari sekeliling mesjid. Terlihat ia bingung, resah. Ku coba dekati,"ada apa pak." Sorot matanya nampak agak menyepelekan aku, sedikit rasa tersinggung terbersit dalam hatiku, ia sama sekali tidak menggubris pertanyaanku. Seorang jama'ah lainnya yang juga seperti sedang sibuk ikut mencari sesuatu menjawab,"Bapak ini kehilangan sandalnya. Entah siapa yang mengambil. Tega sekali, entah untuk apa juga orang shalat tapi masih tanpa beban, nyolong sandal orang lagi.""Baiklah, saya punya sandal ini. Cuma sandal jepit pak, mungkin bapak pulang lebih jauh ketimbang saya, bapak saja yang memakainya. Saya bisa pulang begini saja tanpa sandal, silahkan Bapak saja yang pakai" Tawarku pada bapak yang kehilangan sandalnya.

Bapak itupun menerima pemberianku, tanpa berbicara dengan saya, justru memilih bercakap-cakap dengan orang lain sambil terus berlalu. Ada rasa yang tidak bisa ku gambarkan di dalam batin. Bukan karena bapak itu tidak mengucapkan terima kasih. Karena pemberian itu semata karena berharap ridho-Mu, ya Allah. Kau melihat, pasti. Bagaimana, ketika telapak kakiku memijak jalanan aspal yang panas di bawah terik matahari, nyeri, menyengat. Aku hampir tidak sanggup menahan panas itu. Karena aku meniatkan itu untuk mengetuk cinta-Mu, Rabb. Aku tidak pedulikan panas itu, aku tidak lagi kesal manusia tersebut yang tidak ucapkan terima kasih pada pemberian kecilku tadi. Aku yakin aku benar-benar ikhlas. Bukankah, sebuah keikhlasan itu tercermin dari ketidak sudian mengingat atas apa yang di berikan kepada orang lain?

Terus, kenapa aku menuliskan catatan itu di sini, padahal sudah berselang sekian tahun, itu semua tidak lagi ku ingat? Rabb, ada setitik gelisah di sini. Di balik kulit dadaku. Kau pasti juga tahu. Aku tidak mengerti, apakah yang sebenarnya terasakan olehku? Hanya saja, sepertinya aku sedikit renggang dengan-Mu. Lafal nama-Mu di lidahku sudah layaknya air yang tercegat di pintu bendungan. Masih tetap mengalir. Tapi, aku merasa tidak lagi sederas tempo hari. Ku ingat hal itu hanya untuk temaniku menanyakan pada-Mu, masih bisakah aku jujur mencintai-Mu? Telah sucikah hatiku dari kemunafikan?

Belum kan? Aku masih terus mencurigai raga ini, yang setiap hari ku kendarai telusuri jalanan bumi-Mu. Sepertinya, keputihan cinta ini untuk-Mu telah tercoreng gurat-gurat yang kian hari kian kentara.

Rabb Bersama dosa yang masih melumuriku, ku tadahkan sebuah pinta pada-Mu. Penuhi hatiku hanya cinta untuk-Mu, jangan lagi hati ini di dera keresahan. Jangan lagi tersisip panas di sini seperti saat kakiku menjejak jalanan aspal panas itu. Biar saja aku tidak mendapatkan terima kasih. Hanya saja, ketika hati ku telah mulai mengering, basahi lagi hatiku dengan cinta, agar terusir segala kemunafikan, jangan lagi ia bergelayut di urat-uratku. Inilah sepotong doa malam ini.

Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadh dhaalimiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar