Kamis, 07 Oktober 2010

HIKAYAT TUKANG BAKSO

 
Di suatu senja sepulang kerja,
saya masih berkesempatan untuk duduk sebentar di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak - anak yang
sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai.....
Hujan rintik-rintik
selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

dikala saya mau menyandarkan kepala….. terdengar suara
tek…tekk.. .tek…suara tukang bakso dorong lewat.
Sambil menyeka
keringat…, ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok
bakso setelah menanyakan anak-anak, siapa yang mau bakso?
“Mauuuuuuuuu..”, secara serempak dan kompak anak-anakku
menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.


Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya.
Yang
satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas
kue semacam kaleng biskuit.
Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama
ini.


“Mang kalo boleh tahu, kenapa uang-uang itu pisahkan? Barangkali ada
tujuan?”

“Iya pak, memang sengaja saya memisahkan uang ini selama jadi tukang
bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun.
Tujuannya sederhana saja,
hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak saya, mana yang menjadi
hak orang lain / amal ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita
penyempurnaan iman seorang muslim”.


“Maksudnya…?”, saya melanjutkan bertanya.
“Iya Pak, kan agama dan islam menganjurkan kita agar bisa berbagi
dengan sesama.
Sengaja saya membagi 3 tempat, dengan pembagian sebagai
berikut :


1. Uang yang masuk ke dompet,
artinya untuk memenuhi keperluan hidup
sehari-hari untuk keluarga.


2. Uang yang masuk ke laci,
artinya untuk infaq /sedekah, atau untuk
melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi
tukang bakso saya selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun
kambingnya yang ukuran sedang saja.


3. Uang yang masuk ke kaleng biskuit,
artinya karena saya ingin menyempurnakan
agama yang saya pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang
mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya
yang besar, Maka kami sepakat dengan istri bahwa di setiap penghasilan
harian hasil jualan bakso ini kami harus menyisihkan sebagian
penghasilan sebagai tabungan haji.. Dan insya Allah selama 17 tahun
menabung, sekitar 2 tahun lagi saya dan istri akan melaksanakan ibadah
haji.


Hatiku sangat… sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh
sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia.
Bahkan mungkin kita yang
memiliki nasib sedikit lebih baik dari si tukang bakso tersebut, belum
tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu.

Dan
seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut :
“Iya
tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…? termasuk
memiliki kemampuan dalam biaya…?

Ia menjawab, “Itulah sebabnya Pak, justru kami malu kepada Tuhan
kalau bicara soal Rezeki karena kami sudah diberi Rizky.
Semua orang
pasti mampu kok kalau memang niat..?


Menurut saya definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita
diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri.
Kalau kita
mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin
selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu.

Sebaliknya kalau kita
mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala
kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita kok.

“Masya Allah… sebuah jawaban dari seorang tukang bakso”.


Sahabat…..
Cerita perjalanan spiritual
ini sangat sederhana dan jadi inspirasi.
Semoga memberi hikmah terbaik
bagi kehidupan kita. Amien……..


Dalam hadits Qudsi,

“Sesungguhnya Allah berfirman: Aku akan mengikuti prasangka
hamba-Ku dan Aku akan senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku”
(HR. Bukhari Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar