Selasa, 05 Oktober 2010

Trilogy Kisah Kayu

The story of a box in a stable

I am a kind of tree. Long time ago, I dreamt of being a jewelry box with beautiful carving surrounding my body. In fact, I was just an ordinary wooden box. My job was only carrying food for cattle, yet my dream of being a treasure box had gone away. No carving surrounded my body, no glory of this shape. And there was no gold or diamond inside me, just dirty grass and smelly straw. No king or queen touched me; just dirty mouth of a camel kissed my body.


One day, there was a man coming into my place. His wife was pregnant and it seemed to me that she would give a birth. This man told his wife that there was no place for them to stay. They were all too expensive for them. Finally that lady gave her birth in a cattle stable, the only place to stay. She put the newly born infant in me. And suddenly, thousand angels in the sky sang aloud. Their voices scattered heavily, passing by my body. They were glorifying the lord. The sky was so bright and beautiful. Later, the eastern star delivered The Three Kings to present a gift to the infant. I was amazed.

Now I know that my dream was granted. I kept the greatest treasure of mankind; the holy infant of a great man who saves the world.


Celathune Prau

Aku iki sadrema prau cilik, prau kang kagawe saka sempaling kayu, kayu seka alas ing sa'ereng-erenging gumuk. Dhisik aku pengin dadi kapal gedhe kang misuwur, ngupengi jagad tan winates. Ratu lan pangeran bakal numpaki aku, nyebrang segara wiyar, duta minulya kanggo nagari kang kawentar.

Nanging jebul manungsa tukang prau sing dhisik negor aku, ora duwe kawicaksanan kang linuwih, jebul wong iku mung tukang prau sing mung isa gawe prau kanggo mancing lan jejala mina pra nelayan, nasibku adoh saka pangimpenku. Saiki aku dadi prau biasa, ora momot ratu ora nyabrangke pangeran ora ka'ambah duta minulya.

Wus pirang suwe, aku supen karo impenku, aku wus lila legawa, dadi kanca nggota, anjaring mina cilik ing segara urip. Wus ora kepitung pira akehe anggonku golek mina, lan dadi panguripaning wong kang ngupadi becik.

Ing sawijining dina, ana mitra cacah rongpuluh, ngersakake nyabrang ana ing bang kidul. Sajroning mrau, salahsijining piyayi atur wucalan kabecikan babagan Pangéran kang sipat murah, Cinecep nulya wangsul, Mrih rahayu lumampah margi utami. Banjur piyayi mau sare.

Nuli piyayi mau sare, dumadakan langite mendhung, segara horeg muter, nguncalake banyu segara, aku kang mung prau cilik kabebeg ing banyu kang sansaya prahara. Piyayi mau di gugah marang sawijining abdi, deweke tumuli ngadeg lan atur sabda, alaming segara sing mau prahara, banjur lerem saknalika. Aku nuli bungah, kasembadan panggayuhku, anggraita menawa sing dak terke nyebrang mau putraning Allah kang jumeneng nata sedaya titah, Raja agung binathara kang manjalma dadi manungsa lumrah. Duh gusti kersaa dados sedaya ingkang Panjenengan kersa.




Cerita Sebuah Kayu
Sekarang aku hanya sebuah kayu tua. Dulu aku adalah sebuah pohon di hutan bukit subur. Rindang daunku, carang2ku menjulang ke angkasa. Tidak seperti teman-temanku yang lain yang ingin ditebang dan menjadi alat pembantu manusia, aku tidak mempunyai cita-cita itu, aku hanya ingin tumbuh dan mekar, sehingga kelak, manusia akan kagum melihat keperkasaanku, aku ingin lebih tinggi lagi dan tumbuh lagi, dan dekat dengan langit, tempat sang pencipta bertahta.

Tapi impianku sirna, sebelum aku menjadi pohon besar seperti yang aku impikan, manusia datang dan menebang aku. Mereka kemudian menguliti aku, membentuk aku menjadi sebuah gelondong besar, dan kemudian menyimpan aku di tempat yang pengap dan gelap. Berhari-hari aku merenungi nasibku, kecewa dan marah.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, entah berapa musim kemarau aku sudah lewati, aku sudah berhenti menghitung hari dan lupa akan cita-citaku. Aku sudah lelah menyesali nasib. Sampai pada suatu pagi, datanglah dua orang ke tempatku. Mereka menggotong aku, dan memanggulkan aku pada seseorang. Orang itu kira-kira 33 tahun usianya. Di kepalanya tersandang mahkota dari semak-semak berduri, dan duri-duri itu menancap di sekujur kepalanya. Pakaiannya lusuh penuh darah, sepertinya orang ini baru saja dicambuk dan disiksa.

Dengan pasrah orang itu menerimaku dan mulai berjalan sambil memanggul aku. Aku yang begitu berat membuat orang itu jatuh tersungkur ke tanah. Tapi dia bangkit lagi, dia terus berjalan, sepertinya akan menuju sebuah tempat yang tinggi, jalannya menanjak dan berbatu, sepanjang jalan banyak orang meludahi orang ini, melempari dia dengan batu, tapi dia hanya diam. Aku iba melihat orang ini. Apa salah orang ini? Akhirnya datanglah sekelompok wanita mendekati orang ini, mereka meratap dan memberinya minum. Dan kemudian dia berjalan lagi.

Sesampainya di puncak bukit, pakaian orang itu di lucuti, para serdadu membuang dadu untuk mendapat pakaian orang itu. Kemudian kedua tangan dan kakinya dipaku pada tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya ketika sebuah paku menembus pergelangan tangannya. Setelah terpaku, aku diangkat tinggi bersama orang itu. Terik matahari yang kejam seperti menusuk-nusuk tubuh orang itu. Menambah perih dan ngilu pada luka-lukanya.

Akhirnya setelah 3 jam, orang itu berkata "Bapa kedalam tangan-Mu kuserahkan nyawaKu" dan meninggal. Dan dari situ aku tahu siapa orang ini. Tangan-tangan pembuat mukjizat yang penuh kasih telah dipakukan pada ujung-ujungku. Pribadi agung penebus memanggul aku dengan penuh taat. Berbahagialah aku, karena menjadi dekat dengan Sang Pencipta. Lebih dekat dari yang kuimpikan dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar