Apakah Anda menyadari keindahan-keindahan yang dipaparkan Al-Qur`an? Apakah Anda mempelajari fakta-fakta yang tertera dalam Al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Anda sebagai pedoman hidup?
Al-Qur`an menjelaskan kepada kita tentang latar belakang kehadiran umat manusia di muka bumi dan bagaimana seharusnya mereka hidup, sehingga kehidupan itu sesuai dengan maksud penciptaan tersebut. Al-Qur`an menjelaskan kewajiban kita kepada Allah dan bagaimana kita akan diberi pahala sesuai dengan amal perbuatan kita. Al-Qur`an Kitab yang Allah turunkan kepada hamba-hamba-Nya yang mengabdi dengan kasih sayang menyeru kita pada keindahan, kebenaran, kesucian, dan kebahagiaan abadi. Kualitas kesempurnaan Al-Qur`an ini terdapat dalam banyak ayat,
“Sesungguhnya, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf [12]: 111)
“Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 2)
Al-Qur`an adalah kitab yang ditujukan kepada manusia di segala usia, sebuah kitab yang berisi semua subjek dasar yang dibutuhkan setiap orang sepanjang hidup mereka, lelaki atau perempuan. Bentuk-bentuk ibadah, pola pikir unik bagi setiap muslim, akhlaq terpuji, perilaku mulia yang harus tampak di wajah saat menghadapi setiap kejadian tak terduga atau pada saat-saat menghadapi kesulitan, pola hidup yang membimbing jiwa dan raga demi hidup sehat, peristiwa kematian, peristiwa di saat roh melalui hari perhitungan, lalu surga dan neraka menanti semua manusia, semua termaktub dalam kitab ini.
Sebagai sumber yang khas bagi semua jawaban dan penjelasan yang mungkin orang pertanyakan tentang keselamatan abadi, Al-Qur`an juga mengandung banyak isyarat dan peringatan penting bagi kehidupan manusia. Allah mengaitkan ciri Al-Qur`an ini dalam ayat,
“... Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl [16]: 89)
Sebaliknya, hanya mereka yang berimanlah yang hidup sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur`an. Karena itu, Al-Qur`an membimbing mereka dalam cahaya tuntunannya.
Allah menciptakan manusia dan menyampaikan melalui Al-Qur`an jalan keluar paling tepat serta semua bentuk informasi yang dibutuhkan untuk menjalani hidup dalam kebaikan kepada semua orang. Karena itu, bila menghadapi kesulitan, sungguh penting bagi mereka yang beriman untuk merujuk pada ayat-ayatnya dan penerapan atas tinjauannya. Tak soal apa latar belakang intelektualitas yang dimiliki seseorang, pengetahuannya tetap saja terbatas, sebab hanya Allah satu-satunya yang melebihi semua makhluk. Manusia dapat meraih ilmu pengetahuan hanya dengan perkenan dan kehendak Sang Maha Pencipta.
“Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (al-Baqarah [2]: 32)
Dengan mengacu pada ayat-ayat ini, mereka yang ingin menelusuri satu kehidupan nan indah di dunia hendaklah melekatkan diri pada prinsip-prinsip Al-Qur`an. Dengan berbuat demikian, mereka akan meraih “kearifan”, satu kualitas yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang senantiasa ingat dan takut kepada Allah. Kearifan (kebijaksanaan) inilah yang memungkinkan mereka memperoleh kehidupan paling terhormat, merasakan bahagia dan damai, dan yang paling penting meraih tujuan mulia atas keberadaan mereka di bumi. Yang harus mereka lakukan adalah berserah diri kepada Allah dan Al-Qur`an; menekuni dan meneliti perintah-perintah dan nasihatnya, mencermati maksudnya, dan mengamalkannya.
Buku ini merupakan hasil renungan atas makna-makna yang terangkum dalam Al-Qur`an dan keindahan yang disajikan ke dalam kehidupan manusia. Ia hendak membantu para pembaca yang menekuni Al-Qur`an, sehingga mereka dapat meraih kehidupan yang sesungguhnya, yang sesuai dengan makna-makna hakiki yang terkandung dalam ajaran-ajaran itu.
Sifat yang Terpuji Menurut Al-Qur`an
Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak tertandingi dan upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah, seperti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan banyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al-Qur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati, penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak berguna.
Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman model ini, Al-Qur`an juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang beriman pada masa dahulu dan bercerita kepada kita bagaimana mereka berdo’a, berperilaku, berbicara, baik di kalangan mereka sendiri maupun dengan orang-orang lain di luar mereka, dan dalam menanggapi berbagai peristiwa. Melalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian kita kepada sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.
Titik pandang sebuah masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an (masyarakat jahiliyah) terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja berubah, sesuai dengan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang kokoh berpegang pada ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi, waktu, dan tempat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh kepada perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia mencerminkan akhlaq terpuji.
Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.
Konsep Kesucian
Allah menyeru orang-orang beriman supaya membersihkan (menyucikan) diri mereka, yang sesuai dengan fitrah jiwa mereka dan sunnah alam. Kesucian dianggap sebagai satu bentuk lain dari ibadah orang beriman dan, dengan begitu, merupakan satu sumber kelapangan dan kesenangan yang besar bagi mereka sendiri. Di dalam banyak ayat, Allah memerintahkan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa dan raga. Nabi kita saw. juga menekankan pentingnya memelihara kesucian,
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR Muslim)
Di bawah ini ada sejumlah rincian berkaitan dengan kebersihan.
1. Kesucian Jiwa
Pengertian qur`ani tentang kesucian berbeda makna dengan yang dipahami oleh masyarakat awam. Menurut Al-Qur`an, suci adalah keadaan yang dialami dalam jiwa seseorang. Demikianlah, kesucian berarti seseorang telah sama sekali membersihkan dirinya dan nilai-nilai moral masyarakatnya, bentuk pola pikirnya, dan gaya hidup yang bertentangan dengan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an menganugerahkan ketenangan jiwa kepada orang-orang beriman.
Tahap awal dari keadaan suci ini berwujud dalam pemikiran. Tak diragukan lagi, ini merupakan satu kualitas terpenting. Kesucian jiwa yang dialami manusia tersebut akan terpancar dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, moral terpuji orang tersebut akan nyata bagi siapa saja.
Manusia yang berjiwa suci akan menjauhkan pikirannya dari segala bentuk kebatilan. Mereka tidak pernah berniat menyakiti, cemburu, kejam, dan mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan tercela yang diserap dan ditampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep moral Al-Qur`an. Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, karena mereka merindukan moral terpuji. Inilah sebabnya, terlepas dari penampilan ragawi, orang-orang beriman pun menaruh perhatian besar pada penyucian jiwa mereka—dengan cara menjauhi semua keburukan yang muncul dari kelalaian—dan mengajak orang lain untuk mengikuti hal yang serupa.
2. Kesucian Ragawi
Di dunia ini, orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan yang mirip dengan surga. Di dunia ini, mereka ingin menikmati segala sesuatu yang akan Allah anugerahkan kepada mereka di surga. Sebagaimana kita pahami dari Al-Qur`an, kesucian ragawi merupakan salah satu dari kualitas-kualitas yang dimiliki manusia surga. Ayat yang berbunyi, “... anak anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan,” (ath-Thuur [52]: 24) sudah otomatis menjelaskan hal itu. Sebagai tambahan, Allah menginformasikan kepada kita dalam banyak ayat lainnya, bahwa di surga tersedia, “pasangan-pasangan hidup yang senantiasa suci sempurna.” (al-Baqarah [2]: 25)
Di ayat lain, Allah menekankan perhatian pada kesucian raga adalah yang merujuk pada Nabi Yahya a.s., “Kami anugerahkan kepadanya... kesucian dari Kami.” (Maryam [19]: 12-13)
3. Pakaian yang Bersih
Al-Qur`an juga merujuk pada pentingnya pakaian bersih, seperti dalam ayat, “Dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah.” (al-Muddatstsir [74]: 4-5)
Lebih jauh, kebersihan ragawi adalah hal yang penting, sebab hal ini menunjukkan penghargaan seseorang kepada orang lain. Sesungguhnya, penghormatan pada orang lain mensyaratkan pemeliharaan tampilan fisik seseorang. Orang-orang beriman bukan sekadar menghindari kotoran, tapi juga memberikan kesan rapi yang tak mencolok yang memperjelas besarnya rasa hormat mereka kepada orang lain. Salah satu cara untuk menunjukkan rasa hormat adalah memakai pakaian bersih. Melalui Al-Qur`an, Allah memerintahkan kepada kita,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid....” (al-A’raaf [7]: 31)
Dalam pemahaman ini, menjaga kebersihan raga dan kerapian serta mengupayakan yang terbaik dalam berbagai hal, merupakan kualitas yang disenangi Allah. Kualitas-kualitas semacam ini tidak diutamakan oleh orang-orang yang bodoh. Nabi kita saw. juga mempertegas pengesahan Allah akan kualitas-kualitas seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Seseorang bertanya, ‘Bagaimana tentang seseorang yang suka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah-indah?’ Rasulullah menjawab, ‘Semua ciptaan Allah adalah indah dan Dia menyukai keindahan.’” (HR Muslim)
Kita harus memperhatikan hal berikut ini. Umumnya, setiap orang cenderung untuk berupaya sebaik mungkin memberikan kesan terhadap sesuatu yang mereka anggap penting pada setiap pertemuan dengan orang lain. Demikian halnya orang beriman, sesuai moralitas yang dikehendaki Al-Qur`an, mereka tampak sangat mementingkan kerapian dengan segenap ketelitiannya dengan tujuan untuk menyenangkan Allah.
Orang beriman memang layak mendapatkan surga dan, di dunia ini, mereka terikat untuk selalu berupaya menjaga diri dan lingkungannya agar tetap bersih, sehingga mereka bisa mendapatkan kesucian dan keindahan surga di dunia ini.
4. Memelihara Kebersihan Lingkungan
Umat Islam sangat berhati-hati dalam menjaga lingkungan terdekat mereka agar tetap bersih. Satu contoh tentang itu disebutkan dalam surah al-Hajj. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk memelihara Ka’bah agar tetap bersih untuk orang-orang beriman yang berdo’a di sekitar tempat itu,
“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku dan sujud.’” (al-Hajj [22]: 26)
Sebagaimana dikehendaki ayat tersebut, kebersihan lingkungan tempat suci yang sejenis (mushala, masjid, majelis taklim, Ed.) harus dipelihara, terutama sekali bagi orang-orang beriman lainnya yang hendak menunaikan ibadah untuk mendapatkan ridha Allah. Karena itu, semua orang beriman yang mengikuti langkah Ibrahim a.s. harus menjaga tempat tinggal mereka agar tetap bersih dan rapi, sebab hal itu dapat menyenangkan hati mereka.
Konsep qur`ani tentang kebersihan jelas berbeda dengan pemahaman orang-orang yang tidak beriman. Allah memerintahkan orang-orang beriman supaya “bersih dan suci” baik lahir maupun batin. Dengan kata lain, hal ini bukanlah bersih dalam pengertian klasik atau kuno, melainkan sebuah upaya berkesinambungan.
Menurut kaidah ini, penggambaran Al-Qur`an tentang kehidupan di surga juga bersifat perintah. Lingkungan surga sudah dibersihkan dari segala bentuk kotoran yang dapat kita lihat di sekitar kita. Surga adalah sebuah tempat yang penuh dengan kebahagiaan, dengan kebersihan yang sempurna. Tiap detail yang terwujud di sana berada dalam keserasian yang sempurna dengan setiap detail lainnya. Dalam cahaya ilustrasi seperti ini, insan beriman senantiasa harus berupaya menjaga lingkungan mereka agar bersih dan mengalihkan kenangan mereka pada tempat-tempat yang mengingatkan mereka kepada surga.
5. Memakan Makanan yang Bersih
Mengonsumsi pangan bersih adalah satu perintah Ilahiah yang harus selalu ada dalam kalbu semua makhluk beriman,
“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, melainkan mereka menganiaya diri mereka sendiri.” (al-Baqarah [2]: 57)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dan apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah [2]: 168)
Sebagai tambahan, Allah memasukkan dalam hitungan kelompok As-habul Kahfi untuk menunjukkan bahwa orang-orang beriman cenderung kepada makanan bersih. Sebagaimana dapat kita baca,
“…Seorang di antara mereka berkata, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu sudah berada di sini. Utuslah salah seorang dari kamu ke kota dengan uang perakmu ini, agar dia bisa melihat makanan mana yang lebih baik, dan membawakan makanan itu untukmu….” (al-Kahfi [18]: 19)
Kita akan kembali ke topik ini pada bab lain dalam judul, “Makanan Bermanfaat yang Disebut di Dalam Al-Qur`an”.
Berlatih, Berenang, dan Air Minum
Perilaku lain yang disebutkan dalam Al-Qur`an tercantum di dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan ungkapan Nabi Ayyub a.s.,
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya, aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’(Allah berfirman) ‘Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.’” (Shaad [38]: 41-42)
Dalam menanggapi keluhan kesulitan dan penderitaan, Allah menasihati Nabi Ayyub a.s. supaya “menghentakkan kaki”. Nasihat itu dapat dianggap satu pertanda yang berkenaan dengan manfaat kegiatan olahraga dan berlatih.
Berlatih, khususnya melatih otot-otot panjang seperti terdapat pada otot-otot kaki (sebagai contoh: gerakan-gerakan isometrik), melancarkan aliran darah dan, karena itu, meningkatkan volume oksigen untuk masuk ke sel-sel tubuh. Selain itu, berlatih mengurangi elemen-elemen racun dari tubuh yang dapat melenyapkan penat, memberikan rasa lega dan kesegaran, dan memberikan kemampuan pada tubuh untuk memperbesar resistensi terhadap mikroba. Latihan teratur juga menjaga urat-urat darah tetap bersih dan lebar, yang, dengan kondisi demikian, dapat mencegah: 1)penggumpalan pada urat-urat dan menurunkan risiko penyakit koroner arteri dan 2) mengurangi risiko diabetes dengan mempertahankan kadar gula darah pada taraf tertentu dan meningkatkan jumlah kolesterol yang aman di dalam liver. Di samping itu, menghentakkan kaki ke tanah merupakan cara paling efektif untuk 3) melepaskan arus listrik statis yang sudah menumpuk di dalam tubuh, yang kerap mengakibatkan badan kaku.
Sebagai tambahan, sebagaimana disebutkan ayat di atas, mandi diakui merupakan metode paling ampuh untuk menghilangkan kebekuan arus listrik di tubuh. Ia juga melenyapkan ketegangan dan kerumitan pikiran, serta membersihkan badan. Karena itu, mandi merupakan satu penyembuhan efektif untuk stres dan banyak ketidakteraturan (gangguan) fungsi fisik dan kejiwaan.
Ayat tadi juga menarik perhatian kita pada manfaat-manfaat tak terhingga dari air minum. Hampir setiap fungsi jaringan tubuh dipantau dan dikendalikan agar menyerap air secara efisien melalui jalur pendistribusian. Fungsi-fungsi dari banyak organ tubuh (misalnya otak, kelenjar peluh, perut, usus, ginjal, dan kulit) sangat bergantung pada kecukupan distribusi air. Memastikan bahwa tubuh mendapat jatah air yang cukup tidak saja membuat tubuh berfungsi lebih berdaya guna, bahkan mungkin menolong seseorang terhindar dari beragam masalah kesehatan. Peningkatan taraf konsumsi air telah terbukti membantu mengurangi berbagai keluhan sakit kepala (migren, kolesterol darah tinggi, sakit saluran rheumatoid penyebab rematik, dan tekanan darah tinggi. Sebagai tambahan pada beragam manfaat tersebut, air juga menghilangkan letih dan kantuk, sebab serapan air yang teratur dan mencukupi membantu menghilangkan anasir racun dari tubuh.
Menaati semua anjuran ini, yang semuanya penting dan vital bagi kesehatan raga dan mental kita, insya Allah akan membuahkan hasil terbaik.
Berjalan Kaki
Orang-orang congkak mengira sikap angkuh bisa menimbulkan rasa kagum manusia lain. Dan, dengan begitu, secara berlebih-lebihan, mereka memamerkan gaya berjalan, berbicara, dan memandang dengan penuh sikap sombong. Tanda-tanda arogansi semacam itu tampak nyata dari gaya berjalan seseorang.
Ayat-ayat yang merujuk kepada nasihat bijak Luqman kepada putra beliau mengungkapkan secara gamblang keangkuhan sikap dan penampilan seseorang,
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Luqman [31]: 18)
Dalam ayat lain, orang-orang beriman dianjurkan untuk tidak berjalan dengan sikap angkuh,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (al-Israa` [17]: 37)
Dengan ayat-ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bahwa Dia tidak menyukai mereka yang sombong dan memperingatkan kita agar menjauhi sikap seperti itu. Kita harus senantiasa ingat bahwa kesombongan setan, yang tampak dari tuntutannya bahwa dia lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya ciptaan Allah, yang menyebabkan dia tersingkir dari hadapan Allah. Orang beriman yang sadar akan keburukan kualitas-kualitas seperti ini tentu saja menjauhi semua itu.
Tak seorang pun yang senang berada di sekitar orang sombong. Siapa pula yang merasa nikmat berdampingan dengan orang-orang semacam itu? Umumnya setiap orang mengetahui bahwa orang-orang angkuh dan merasa diri lebih tinggi derajatnya, dalam kenyataannya, tak lebih dari manusia biasa yang penuh dengan beragam ketidaksempurnaan dan kelemahan-kelemahan. Akibatnya, orang sombong, meskipun menderita oleh keangkuhan dirinya sendiri, takkan pernah mencapai tujuan untuk menikmati prestise di kalangan manusia lain di sekitarnya dan sering tercekam dalam kehinaan.
Al-Qur`an juga menekankan perhatian kita kepada kenyataan bahwa orang-orang beriman harus memiliki sikap berjalan yang tidak berlebih-lebihan atau mengada-ada, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan....” (Luqman [31]: 19) Di dalam mematuhi perintah Allah, manusia yang sederhana akan berjalan dengan sikap sederhana, dan dengan demikian meraih kemuliaan dalam pandangan Allah dan orang-orang beriman seluruhnya.
Intonasi Suara
Tinggi-rendahnya (intonasi) suara adalah bagian penting dari ungkapan perasaan positif seseorang. Bagaimana seorang menggunakan intonasi mencerminkan kualitas orang bersangkutan. Bahkan, suara merdu sekalipun dapat menyakiti jika diartikulasikan dengan tidak sepatutnya. Allah menasihati hamba-hamba-Nya melalui ucapan Luqman,
“... lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman [31]: 19)
Seseorang yang bicara dalam suara keras atau menghardik orang lain tidak akan memberi kesan menyenangkan pada pihak lain. Di samping itu, pada kebanyakan kasus, hal seperti ini terasa tak tertahankan, seperti mendengarkan raungan keledai.
Dengan kata lain, cara orang bicara adalah hal yang penting. Suara orang yang sedang dirundung berang mungkin terdengar tak mengenakkan, meskipun suara lelaki atau perempuan itu, dalam suasana normal, mungkin terasa sedap ditelinga. Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan lantunan suara tak sedap bisa saja terdengar lebih merdu kalau mengikuti nilai-nilai terpuji dari Al-Qur`an. Suara merdu, di pihak lain, mungkin saja terkesan menyerang dan tak tertahankan, jika orang itu angkuh dan berkesan menyakitkan. Karena suara orang tersebut, yang merupakan pantulan sifat negatif diri, baik lelaki atau perempuan, cenderung berkeluh kesah dan menghasut.
Sebagaimana halnya suara, mereka yang berakhlaq mulia selalu memiliki sifat rendah hati, santun, bersahaja, damai, dan konstruktif. Dengan sudut pandang positif dalam kehidupan, mereka selalu ceria, bersemangat, cerah, dan gembira. Sifat sempurna ini, yang timbul dari kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti dijelaskan dalam Al-Qur`an, termanifestasikan dalam lantun suara seseorang.
Luhur Budi
Al-Qur`an menginformasikan kepada kita bahwa manusia beriman pada kenyataannya adalah orang-orang yang sangat bermurah hati. Akan tetapi, konsep Al-Qur`an tentang akhlaq mulia agak berbeda dari yang secara umum ditemukan dalam masyarakat. Manusia mewarisi sifat santun dari keluarga mereka atau menyerapnya dari lingkungan masyarakat sekitar. Akan tetepi, pengertian ini berbeda dari satu strata ke strata lain. Wujud keluhuran budi yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau bagaimanapun, melebihi dan di atas nilai dari pemahaman mana pun, karena ia tidak akan pernah berubah, baik oleh keadaan maupun manusia. Mereka yang menyerap unsur akhlaq mulia, sebagaimana pandangan Al-Qur`an, memandang setiap manusia sebagai hamba-hamba Allah, dan karena itu memperlakukan mereka dengan segala kebaikan, walaupun tabiat mereka mungkin saja tidak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi penyimpangan dan tingkah laku yang tidak patut, teguh dalam pendirian, bahwa berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih sayang Allah, sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadits,
“Allah itu baik dan menyukai kebaikan dalam segala hal.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana ditunjukkan ayat berikut, Allah mendorong manusia supaya berbuat baik dan santun kepada orang lain,
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari bani Israel, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kamu selalu berpaling.” (al-Baqarah [2]:83)
Al-Qur`an menghendaki kebaikan kemutlakan. Dengan kata lain, manusia beriman tidak boleh berpaling dari perilaku baik, sekalipun kondisi lingkungannya tampak menginginkan keburukan dan ketidaksenangan. Kelemahan fisik, kehabisan tenaga, atau kesukaran tidak akan pernah menghalangi mereka dari keajekan mereka dalam kebaikan. Sementara itu, tak peduli mereka kaya atau miskin, menikmati kedudukan gemerlap atawa jadi orang dalam bui, manusia beriman memperlakukan setiap orang dengan baik, karena mereka sadar bahwa Nabi kita saw. menegaskan pentingnya tiap orang beriman untuk berbuat demikian, sebagaimana tersebut dalam hadits, “Manakala kebaikan ditambahkan pada sesuatu, itu akan memperindahnya; apabila kebaikan ditarik keluar dari sesuatu, itu akan meninggalkan cacat.”(HR Muslim). Moralitas agung ini diperkuat dalam ayat berikut, sebagaimana sudah diutarakan dalam bagian sebelumnya,
“... berbuat baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah kata kata yang baik kepada manusia....” (al-Baqarah [2]: 83)
Orang-orang beriman juga harus sangat berhati-hati terhadap cara mereka memperlakukan orang tua mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan supaya mereka diperlakukan dengan segala kebaikan,
“Dan Tuhanmu telah perintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (al-Israa` [17]: 23)
Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan pentingnya menghormati orang tua. Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan dari keluarganya, untuk waktu lama, karena saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke dalam sebuah sumur. Tak lama kemudian, beliau ditemukan oleh satu rombongan pedagang yang membawanya ke Mesir dan menjualnya sebagai budak. Kemudian, karena dakwaan palsu, dia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan dibebaskan, hanya berkat pertolongan Allah, untuk diangkat menjadi bendahara kerajaan Mesir. Kemudian, setelah semua ini, beliau memindahkan seluruh keluarganya dari Madyan ke Mesir dan menyambut mereka seperti terlukis dalam ayat berikut,
“Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan dia berkata, ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ Dan dia naikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana….” (Yusuf [12]: 99-100)
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Nabi Yusuf a.s., terlepas dari status terhormatnya, berperilaku yang luar biasa santun kepada kedua orang tuanya. Mengangkat keduanya ke atas singgasana, menandakan hormat dan cintanya kepada keduanya, dan juga menunjukkan akhlaqnya nan mulia.
Ramah Tamah
Bagi umat beriman, yang mengikuti moralitas Al-Qur`an, memuliakan tamu mereka merupakan wujud kepatuhan pada salah satu perintah Allah serta satu kesempatan untuk mengaplikasikan moralitas yang tinggi. Sebab itulah, hamba-hamba beriman menyambut tamu-tamu mereka dengan penuh takzim.
Di dalam masyarakat yang tidak beriman, orang umumnya menganggap tamu sebagai satu beban, baik dari sudut material maupun spiritual, karena mereka tidak dapat melihat kejadian-kejadian semacam itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan kesenangan Allah dan memperagakan akhlaq mulia. Sebaliknya, orang yang tidak beriman beranggapan bahwa santun dan sopan pada tamu tak lebih dari merupakan keharusan kemasyarakatan. Hanya karena mengharapkan suatu imbalan keberuntunganlah yang menggugah mereka untuk ramah dan santun pada tamu.
Al-Qur`an secara khusus menekankan perhatian agar manusia beriman menunjukkan akhlaq mulia kepada tamu. Sebelum yang lain-lainnya, manusia beriman menyuguhkan hormat, cinta, damai dan santun kepada setiap tamu. Sambutan biasanya didasarkan pada mempersiapkan tempat dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang tanpa ungkapan hormat, cinta, dan damai, tidak bakal menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat berikut, Allah mempertegas betapa Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun selain itu,
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (an-Nisaa` [4]: 86)
Sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, moralitas qur`ani mendorong manusia beriman agar berlomba-lomba dalam amal kebaikan, walau sekadar perbuatan biasa seperti menyambut tamu, sebagai satu sikap yang sudah dicontohkan di sini.
Al-Qur`an juga menginginkan kita memperlakukan tamu agar mereka merasa nyaman dengan menanyakan apa saja keperluan mereka, dan memenuhinya, sebelum sang tamu mengutarakannya. Cara Nabi Ibrahim a.s. melayani tamu beliau merupakan satu contoh bagus tentang ini dan merupakan peragaan satu wujud penting dari keramahtamahan,
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ingatlah ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan ‘Salamun!’; Ibrahim menjawab ‘salaman’, kalian adalah orang-orang tidak dikenal. Maka dia pergi secara diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkan kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan).” (adz-Dzaariyaat [51]: 24-27)
Satu hal penting dari ayat-ayat ini yang menarik perhatian kita: akan lebih baik kita lebih dulu menanyakan keperluan tamu, laki atau perempuan, sebelum dia memintanya, karena tamu yang sopan biasanya menunda-nunda mengemukakan keperluannya. Di luar dari pemikirannya, tamu semacam ini bahkan mencoba menolak apa yang mungkin ditawarkan tuan/nyonya rumah. Bila ditanya apakah dia memerlukan sesuatu, sang tamu mungkin akan menjawab “tidak” dan berterima kasih atas tawaran tersebut. Untuk alasan seperti itu, moral qur`ani akan memikirkan sejak awal tentang apa saja yang mungkin diperlukan tamunya.
Perilaku lain yang disukai berkenaan dengan hal ini adalah menawarkan bantuan tanpa menunda-nunda. Di atas segalanya, perilaku seperti ini mengedepankan rasa senang tuan rumah bila tamu merasa bahagia berada di sana. Sebagaimana disebutkan ayat tadi, menawarkan sesuatu “dengan segera” mengungkap kemauan tulus tuan/nyonya rumah untuk melayani tamunya.
Tingkah laku mulia lainnya yang dapat dipetik dari ayat-ayat tadi adalah walaupun Nabi Ibrahim a.s. belum pernah kedatangan tamu sebelumnya, dia berupaya keras untuk melayani mereka sebaik mungkin dan bersegera menyuguhkan daging bakar “anak sapi gemuk”, sejenis daging yang terkenal sangat sedap rasanya, sehat dan bergizi. Dus, bisa kita tambahkan bahwa selain dari mencukupi layanan-layanan yang telah disebutkan, tuan/nyonya rumah harus pula mempersiapkan dan menawarkan makanan kualitas prima, enak, dan segar.
Di luar semua ini, Allah juga menekankan perhatian akan daging yang hendak disajikan untuk tamu.
Konsep Kebijaksanaan Pilihan di Dalam Al-Qur`an
Al-Qur`an selalu menekankan konsep kebijaksanaan. Kualitas ini dikhususkan untuk orang-orang beriman. Namun, manusia menggunakan istilah-istilah bijaksana dan cerdik itu bertukar-balik. Oleh sebab itu, perbedaan makna di antara kedua kata tersebut selalu membingungkan, dengan anggapan, yang tentu saja keliru, bahwa orang cerdik dengan sendirinya bijaksana. Bijaksana, bagaimanapun, adalah memahami bahwa Allah hanya meridhai insan-insan beriman. Itu berarti memberdayakan manusia untuk menganalisis dan memahami hal yang dikemukakan ini secara tepat agar mereka mengenal hukum alam sebenarnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah dengan setepat-tepatnya. Berbeda dengan pengertian awam, bijaksana tak ada kaitannya dengan kepintaran seseorang; bahkan itu merupakan hasil dari keteguhan keyakinan seseorang. Dalam banyak ayat, Allah merujuk pada orang-orang tidak beriman sebagai “manusia tanpa kebijaksanaan”.
Kepintaran seseorang tampak dari reaksi seseorang saat menghadapi kejadian tak terduga dan situasi runyam. Dibandingkan dengan reaksi dari mereka yang tidak punya pemahaman mendalam tentang adanya Allah, dan karena itu disebut tidak punya wisdom (kebijaksanaan), dengan mereka yang memiliki keyakinan kuat, tampak perbedaan kadar kebijaksanaan masing masing kelompok itu. Bila dihadapkan pada kejadian-kejadian mendadak, manusia beriman tetap bersikap moderat dan menggunakan kebijakan mereka untuk mendapatkan pemecahan serta-merta dan tak sia-sia, terlepas dari kerumitan situasi. Pendirian bijaksana semacam itu merupakan hasil dari pemahaman mereka pada Al-Qur`an, yang Allah ungkapkan sebagai satu “kriteria dari pertimbangan antara benar dan salah” dan hidup mengikuti perintahnya.
Setiap orang dapat merancang beragam pola pemecahan masalah bila dihadapkan pada situasi yang menghendaki kewaspadaan dan kebijakan. Dan, dengan begitu mereka dapat mencegah kerugian. Namun, tidak ada solusi yang sepasti dan seabadi daripada apa yang diberikan oleh Al-Qur`an, karena berasal dari Allah, yang Maha Mengetahui. Orang beriman yang bertawakal pada Al-Qur`an dan telah dengan kokoh menggenggam “semua petuah ayat-ayatnya,” tentu mendapatkan beragam hasil yang diharapkan dalam segala urusan mereka.
Dalam bab berikut, kita akan menyoroti berbagai hal tentang tindakan-tindakan bijak arahan Al-Qur`an yang dirancang untuk membimbing orang-orang beriman.
Menganalisis Berbagai Tahapan
Kemungkinan dalam Perkembangan
Adanya kemampuan untuk memikirkan secara menyeluruh sebelum mengawali suatu tugas, menaksir-naksir tahapan-tahapan kemungkinan menjelang pelaksanaannya, memperhitungkan kemungkinan beragam situasi dan akibatnya yang dapat terjadi merupakan tanda-tanda signifikan dari kebijaksanaan. Orang yang tidak bijaksana gagal mempertimbangkan hal-hal terselubung ini dan abai mempertimbangkan pro-kontra sebelum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Keteledoran sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.
Metode Nabi Ibrahim a.s. dalam menyebarkan wahyu Allah kepada kaumnya dapat dijadikan teladan uniknya kemampuan berpikir menakjubkan dari orang beriman. Kaumnya, yang penyembah berhala batu pahatan, bersikeras pada kepercayaan sesat mereka, memuja patung, meskipun tidak seutuhnya mereka yakin akan kebenarannya. Sebab itu, Nabi Ibrahim a.s. memutuskan untuk menggunakan metode lain dan menyiapkan satu rencana tahapan tindakan berkelanjutan.
Dalam rangka membuktikan kepada kaumnya, bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak bermakna selain dari kepingan-kepingan batu belaka, beliau memutuskan untuk menghancurkan berhala-berhala tersebut. Tapi sebelum rencana dilaksanakan, dia telusuri metode bijaksana yang paling tepat, dengan lebih dulu memastikan tidak ada seorang pun yang melihat perbuatannya. Metode itu tergambar dalam ayat berikut,
“Dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya, aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membelakang.” (ash-Shaaffat [37]: 89-90)
Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah ayat, segera setelah beliau sampaikan bahwa dirinya sakit, orang-orang di sekelilingnya meninggalkan tempat itu dan membiarkan dia sendirian bersama berhala-berhala itu. Kisah selanjutnya adalah sebagai berikut.
“’Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (al-Anbiyaa` [21]: 57-58)
Nabi Ibrahim a.s. menghancurkan semua berhala batu tersebut, kecuali yang terbesar, yang jadi sosok pujaan kaumnya, karena mereka anggap memiliki kekuatan besar. Tidak lama kemudian, kaumnya datang menghampiri Nabi Ibrahim dalam keadaan marah,
“Mereka bertanya, ‘Kamukah yang melakukan pebuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata, ‘Sesungguhnya, kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).’” (an-Anbiyaa` [21]: 62-64)
Dengan mencermati ayat-ayat bersangkutan secara menyeluruh, nyatalah bahwa Nabi Ibrahim a.s. mewujudkan rencana beliau secara bertahap dengan sangat bijaksana. Hasilnya, beliau mendapatkan apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya, kaumnya yang memuja berhala mulai menyadari bahwa patung satu-satunya yang tersisa tidak punya kemampuan untuk menolong mereka. Patung besar ini, seperti juga berhala yang lainnya yang sudah hancur berantakan, tak lebih dari kepingan batu yang tak bisa melihat, mendengar, atau berbicara. Lebih penting lagi, batu-batu itu tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Inilah pesan yang sesungguhnya disampaikan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya: Jauhi penyembahan batu dan sembahlah Allah, sang Maha Pencipta seluruh alam raya.
Nabi Ibrahim a.s. telah menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang mungkin timbul dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Tamsil ini, bersama dengan banyak contoh serupa yang terhampar di dalam Al-Qur`an, menandaskan bahwa memperhitungkan situasi lingkungan serta sisi psikologis manusia agaknya cukup efisien untuk mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki. Orang-orang beriman yang bijak lestari selalu memperhitungkan pelaksanaan satu tugas, tahap demi tahap, dan dengan cermat mempertimbangkan faktor dan elemen yang bakal membawa hasil jangka panjang. Sementara itu, tindakan-tindakan berlandaskan Al-Qur`an yang mereka wujudkan, sebagaimana juga inisiatif yang mereka prakarsai untuk tujuan baik, tidak akan membawa kerugian di kemudian hari.
Sahabat Andalan
Sebelum pergi menemui Fir’aun untuk menyampaikan pesan Allah, Nabi Musa a.s. meminta persetujuan Allah agar mengizinkan saudaranya, Harun a.s., untuk menyertainya, seperti dapat kita baca dalam ayat berikut,
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya, Engkau Maha melihat (keadaan) kami.” (Thaahaa [20]: 29-35)
Sebagaimana penjelasan ayat-ayat itu, adalah bijaksana untuk mendapatkan sahabat andalan bila menghadapi satu tugas penting. Sesungguhnya, Allah mengabulkan do’a ini. Ayat berikut menegaskan manfaat-manfaat lahiriah dan batiniah dari keikutsertaan teman andalan,
“Allah berfirman, ‘Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.’” (al-Qashash [28]: 35)
Bila orang-orang beriman berpegang pada metode ini, mereka dapat saling menolong bila salah seorang dari mereka gagal atau keliru. Di samping itu, sudah menjadi fakta, adalah lebih mudah bagi dua insan beriman untuk terus memelihara keadaan mengingat kepada Allah, sebab mereka dapat saling mengingatkan terhadap tugas ini manakala pikiran salah seorang dari mereka mulai bimbang. Ini satu rahasia lain yang diungkapkan ayat tersebut.
Tentu saja, masih banyak manfaat lain yang dapat diraih dari kehadiran sahabat andalan. Keberadaan insan beriman lainnya di sisi seseorang dapat menjamin keamanan mereka, sebab orang yang abai meramalkan suatu bahaya mungkin bisa diselamatkan oleh tindakan teman pendamping untuk mencegah risiko yang mungkin menerpa.
Pembagian Tugas
Allah bersumpah atas sejumlah hal di dalam Al-Qur`an untuk menekankan pentingnya hal-hal tersebut untuk diperhatikan. Salah satunya mengenai pembagian tugas.
Dengan bersumpah demi, “(malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,” (adz-Dzaariyaat [51]: 4) Allah menegaskan manfaat dari perkongsian. Dengan mematuhi nasihat ini, agar mendistribusikan kerja di antara orang-orang beriman, banyak waktu dapat dihemat dan memungkinkan mereka menyelesaikan tugas lebih cepat tinimbang di kerjakan seorang diri. Ternyata, satu tugas yang memerlukan sepuluh jam untuk diselesaikan satu orang dapat diselesaikan dalam hanya satu jam jika sepuluh orang dilibatkan di dalamnya.
Keuntungan lain adalah tercapainya kualitas hasil akhir yang lebih tinggi. Dari kerja sama semacam ini, tiap peserta dapat mengambil kearifan, pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dari mereka yang turut serta dalam pekerjaan tersebut.
Sebagai tambahan, manakala sejumlah orang dilibatkan dalam pelaksanaan suatu tugas, kesalahan dan kekeliruan potensial dan kerusakan, yang acap timbul dari ketergesa-gesaan, bisa banyak dikurangi.
Dalam masyarakat tidak beriman, orang umumnya cenderung memonopoli satu pekerjaan untuk diri sendiri dan tidak perlu berkongsi dengan orang lain; tujuannya agar semua penghargaan dan imbalan yang diberikan oleh mereka yang menikmati hasil pekerjaan itu menumpuk pada si pemborong sendiri. Pembagian kerja dapat menghapus kerakusan semacam itu dan melenyapkan keinginan jelek untuk memborong keuntungan dari keberhasilan suatu proyek. Betapapun, suksesnya sebuah proyek tak lepas dari keikutkesertaan kebijakan, pengetahuan, dan pengalaman sejumlah orang, sehingga tak seorang peserta pun berhak menyombongkan diri sabagai orang yang paling besar andilnya. Sesungguhnya, orang-orang beriman tidaklah mencari-cari superioritas diri, sebab segala sesuatu yang mereka inginkan adalah kesenangan Allah swt. atas amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Pembagian kerja juga mendatangkan manfaat lain: bekerja secara kolektif untuk keperluan bersama akan mempererat persahabatan, persaudaraan, dan kesetiaan sesama peserta. Bahkan, lebih dari itu, kerja sama memungkinkan seseorang mengenal keindahan dan keahlian orang lain dan menepis nafsu serakah dari kalbu orang bersangkutan, dan akhirnya membuat dia jadi orang sederhana (moderat).
Bekerja bersama untuk mendapatkan kesenangan Allah membuat para peserta merasa saling dihargai, disenangi, dan berbakti, karena suasana yang melandasi kerja semacam itu. Tiap upaya yang mereka kedepankan untuk memenuhi tugas yang diemban mencerminkan cinta dan pengabdian kepada Allah. Menyadari kenyataan ini adalah faktor lain yang menyuburkan persaudaraan di kalangan orang-orang beriman.
Malam untuk Beristirahat, Siang untuk Bekerja
Al-Qur`an menyatakan siang hari adalah waktu untuk beraktivitas, sementara malam hari lebih baik dimanfaatkan untuk istirahat. Ayat yang berkenaan dengan hal itu adalah,
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus [10]: 67)
Dengan meneliti tubuh manusia terungkaplah bahwa metabolisme tubuh sudah diatur supaya beristirahat waktu malam dan bekerja pada siang hari. Kala mentari mulai terbenam, kelenjar otak, yang berada di landasan otak, mulai membendung melatonin. Ini membuat orang jadi kurang siaga. Fungsi kerja otak menurun dan suhu badan anjlok. Semua reaksi tubuh terhadap kegelapan akhirnya merendahkan produktivitas seseorang.
Dengan munculnya waktu fajar, peringkat melatonin berkurang dan hormon-hormon diaktifkan. Sementara itu, suhu badan meningkat dan fungsi-fungsi otak mencapai tingkat maksimum. Faktor-faktor ini memberi sumbangan pada kesiagaan, perhatian, dan produktivitas seseorang. Fakta-fakta seperti ini membawa kearifan seperti yang disebutkan dalam ayat,
“Allah menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya.”
Merahasiakan Informasi Penting terhadap
Orang yang Bermaksud Jahat
Al-Qur`an menegaskan pentingnya untuk tidak menyebarkan informasi penting kepada orang-orang yang mempunyai maksud jelek, yang menyukai informasi semacam ini untuk melencengkan sesuatu yang baik dari orang-orang beriman. Oleh karena itu, bila orang seperti itu tahu bahwa sesuatu yang baik bakal terjadi pada orang yang tidak dia sukai, kecemburuan orang tadi akan menghadang informasi tersebut sampai kepada orang yang dibencinya itu dengan beragam upaya.
Al-Qur`an memberikan informasi pada kita tentang saudara-saudara lelaki Nabi Yusuf a.s., yang tergolong orang-orang buruk keinginan. Karena kecemburuan mereka pada Nabi Yusuf a.s.—ayah mereka (Nabi Ya’qub) sangat mencintai adik mereka itu—maka mereka menyimpan dendam di hati. Nabi Ya’qub a.s., yang mengetahui adanya maksud jahat yang terpendam di hati anak anaknya itu, menasihatkan Yusuf supaya tidak mengungkapkan rahasia mimpinya kepada mereka. Dia tahu mimpi itu, yang mengabarkan pada Yusuf bahwa dia hamba pilihan Allah dan dianugerahi banyak karunia, akan membuat saudara-saudaranya tambah marah. Ayat-ayat Al-Qur`an menceritakan,
“(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, kulihat semuanya tunduk padaku.’ Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dan demikianlah, Tuhanmu, memilihkamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi mimpi dan disempurnakan-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nik-matnya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Yusuf [12]: 4-6)
Allah menyeru manusia merenungkan peristiwa ini, “Sesungguhnya, ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf [12]: 7) Tetap waspada kala berada di tengah-tengah mereka yang memiliki maksud buruk dan menolak informasi penting dari mereka merupakan pelajaran berguna yang bisa dipetik dari ayat-ayat ini.
Mengambil Tindakan Dini
Tindakan lain yang Allah tekankan kepada kita adalah agar kita segera bereaksi bila berhadapan dengan satu situasi yang harus ditangani. Di dalam Al-Qur`an, Allah menunjukkan kepada kita satu sikap yang dipraktikkan Nabi kita saw. sebagai contoh,
“Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari rumah keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran[3]: 121)
Seperti disebutkan ayat, dalam suasana perang, Nabi Muhammad saw. meninggalkan rumah beliau pada dini hari untuk memberikan pengarahan kepada para pengikut beliau berkenaan dengan tugas-tugas mereka dan mempersiapkan mereka terhadap apa yang bakal terjadi. Selama 1400 tahun, apa yang dipraktikkan Nabi kita saw. telah membimbing dan memberi semangat kepada orang-orang beriman.
Orang yang cepat bertindak mendapatkan cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Tambahannya, satu situasi tak terduga atau satu penundaan tidaklah mendatangkan tekanan tambahan, sebab mereka punya cukup waktu untuk menghadapi masalah masalah ini.
Berada dalam keadaan tidak tergesa-gesa dapat secara psikologis dapat meningkatkan derajat kelegaan jiwa seseorang, sedangkan keterbatasan waktu dapat membuat orang panik dan gelisah. Dua keadaan pikiran yang merintangi kemampuan orang berkonsentrasi, mengemukakan alasan, dan merancang pemecahan masalah yang tepat. Sebaliknya, waktu yang cukup memadai memungkinkan orang bekerja dengan kedamaian pikiran dan nir-tekanan, mencurahkan perhatian dan kearifan mereka pada pemecahan masalah, dan dengan begitu membuka peluang memformulasikan keputusan terbaik.
Waspada di Waktu Malam
Meskipun Allah sudah menentukan malam sebagai waktu untuk ketenangan, Al-Qur`an menyeru kita supaya waspada melalui ayat berikut,
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita.’” (al-Falaq [113]: 1-3)
Malam, khususnya saat gelap gulita, membatasi kemampuan keandalan tertentu manusia dan menjadikannya jauh lebih sulit mengambil tindakan-tindakan pengamanan diri. Pada waktu malam, akan lebih sulit mempradugakan bahaya, yang artinya: bahwa tingkat kepedulian seseorang tambah menurun. Faktor utama di belakang meningkatnya taraf risiko adalah keinginan orang-orang tidak beriman untuk terlibat dalam tindak kejahatan di bawah selubung kegelapan, yang melindungi mereka dari pandangan orang lain. Angka statistik kejahatan pembunuhan, pencurian, dan banyak lagi kegiatan kegiatan tidak legal dan berbahaya mengungkapkan bahwa perbuatan perbuatan durjana mereka itu cenderung lebih tinggi volumenya mulai tengah malam hingga waktu fajar.
Al-Qur`an juga menyatakan bahwa orang-orang tak beriman cenderung menyakiti/mengganggu orang beriman di malam hari. Seperti dapat kita baca,
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (an-Nisaa` [4]: 108)
Dalam ayat lain, Allah memberi tahu kita tentang satu makar jahat terhadap Nabi Salih a.s. oleh orang-orang tidak beriman yang memendam kebencian mendalam terhadap beliau, dan mengingatkan kita supaya berhati-hati terhadap rencana rencana jahat semacam itu,
“Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada wazirnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (an-Naml [27]: 49)
Orang-orang beriman adalah mereka yang mengambil peringatan-peringatan Allah dengan penuh keyakinan, dan dengan begitu mengenggam erat pandangan rasional atas semua peristiwa, menerapkan segala jenis kewaspadaan guna melindungi keselamatan mereka di malam hari. Khususnya kala bepergian, bekerja, atau bahkan waktu tidur, mereka tetap awas terhadap kemungkinan datangnya bahaya. Tapi, orang harus ingat bahwa semua perhatian ke arah itu tidak setara dengan kejahatan, karena itu manusia beriman di samping melengkapi persyaratan kewaspadaan yang diperlukan; lalu memasrahkan diri mereka pada ketentuan Allah.
Tidak Bertindak Sendirian
Dari catatan Al-Qur`an tentang para nabi terdahulu, yang melanjutkan pengabdian sebagai panutan untuk semua orang beriman karena kepatuhan mereka pada berbagai perintah dan larangan Allah, kita mengetahui bahwa setiap Nabi ditemani seorang pendamping, khususnya waktu menjalankan satu misi penting. Sebuah contoh tipikal adalah Nabi Musa a.s. yang didampingi saudaranya sendiri, Harun a.s.. Sebelum menemui Fir’aun, yang sangat membenci dirinya, Nabi Musa a.s. bermunajat kepada Allah agar memperkenankan Harun a.s. menemani beliau sebagai teman pendamping,
“Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku.” (al-Qashash [28]: 34)
Di samping itu, kehadiran pendamping dapat mengurangi nyali dan kegetolan mereka yang punya maksud maksud jahat. Sedangkan kesendirian lebih mendorong mereka untuk melampiaskan niat buruk mereka.
Perjalanan Nabi Musa a.s. dan seorang muridnya adalah satu contoh lain,
“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan bertahun-tahun.’ Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (al-Kahfi [18]: 60-61)
Sebagaimana disebut pada ayat berikutnya, Nabi Musa mendapat keuntungan dari teman dalam perjalanan panjang itu. Praktik seperti ini, sebetulnya, merupakan satu bentuk kewaspadaan yang bijaksana. Karena berjalan sendirian ke tempat jauh dengan orang yang tidak mengenal kondisi dan situasi wilayah bisa jadi petualangan meragukan, kalau bukan lebih jelek taruhannya. Dalam hal ini, panduan dan dukungan orang lain, dalam artian material dan spiritual, merupakan pertolongan besar bila seseorang harus mengatasi kesulitan kesulitan yang sangat mungkin ditemui selama dan sesudah perjalanan.
Al-Qur`an membeberkan perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah sebagai contoh lain,
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah [9]: 40)
Mereka yang memusuhi Nabi saw. ingin menangkap dan membunuh beliau, dengan demikian akan melenyapkan pengaruhnya atas para pengikut beliau. Kalaulah Nabi saw. seorang diri, di bawah tekanan risiko dan berbahaya itu, tak diragukan lagi, kaum penyembah berhala pasti memanfaatkan kesempatan mewujudkan ambisi-ambisi jahat mereka. Itu sebabnya Nabi kita saw. selalu ditemani oleh setidak-tidaknya satu orang beriman. Praktik inilah yang terus-menerus membimbing kaum muslimin hingga hari ini.
Hidup di Tempat-Tempat Aman
Kondisi-kondisi di sekeliling para Nabi dan pengikut-pengikut mereka dalam kurun perjuangan mereka menghadapi kepungan kaum musyrikin dan jahiliah telah mengharuskan para utusan Allah itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Tekad kuat untuk hidup sesuai dengan kaidah prinsip Islam seraya menyebarkan pesan Allah, betapapun, telah direspons dengan sikap permusuhan dan kekerasan oleh puak-puak masyarakat sekitar. Dalam banyak kasus, sikap memusuhi itu bahkan menjurus ke upaya-upaya membunuh sejumlah nabi.
Kaum beriman berkeyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Kalau mereka diserang, mereka yakin ada hikmah yang terselip di dalamnya, sebab Al-Qur`an menegaskan adanya kebaikan pada tiap peristiwa. Maka orang beriman yang tidak takut pada siapa atau apa pun selain dari Allah, menempuh cara cara rasionil dan meningkatkan kewaspadaan untuk menggagalkan rencana makar terhadap mereka.
Salah satu wujud kewaspadaan itu adalah membangun perbentengan kokoh dan aman di sekeliling tempat tinggal dan kota mereka. Al-Qur`an menginformasikan kepada kita tentang dua orang yang beperkara yang datang kepada Nabi Dawud a.s..
“Dan adakah sampai kepadamu berita tentang orang-orang beperkara ketika memanjat pagar?” (Shaad [38]: 21)
Ayat ini, yang berhubungan dengan upaya mereka untuk menemui Nabi Dawud, juga memberi gambaran kepada kita tentang tempat tinggalnya. Mungkin itu satu tempat berteduh yang aman dikelilingi tembok tinggi dan tak mudah diserang.
Wujud kewaspadaan lain yang disebut dalam Al-Qur`an adalah memelihara anjing di pintu-pintu masuk dan meningkatkan keamanan. Seperti dapat kita baca,
“Dan kamu mungkin mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan terhadap mereka.” (al-Kahfi [18]: 18)
Pemuda-pemuda ini, yang disebut Al-Qur`an sebagai “As-habul Kahfi”, berlindung di dalam sebuah gua dari penguasa tirani di masa itu, yang sangat membenci agama. Seperti sejumlah ayat memberitakan pada kita, Allah menghendaki mereka tetap dalam keadaan tidur untuk waktu bilangan tahun. Dari ayat-ayat tersebut, kita mengetahui bahwa selama bilangan tahun itu mereka menempatkan seekor anjing di pintu gua untuk menjaga keamanan mereka.
Menghasilkan Solusi yang Tangguh dan Bertahan Lama
“Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata, ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan(manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Dzulqarnain, ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, ”Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melubanginya.” (al-Kahfi [18]: 94-97)
Pelajaran yang dapat diambil dari sini sudah dijelaskan sendiri oleh ayat yang kita baca: Tinimbang bergantung pada pengamanan lemah dan tidak tangguh, Dzulqarnain memilih teknologi canggih di masanya, mulai dari bahan hingga pada metode konstruksi, untuk membangun perbatasan yang tak tertembuskan, agar keamanan masyarakat di sana dapat dipulihkan. Sebagai kewaspadaan kedua, dia tuangkan cairan tembaga mendidih ke atas pagar besi itu.
Inilah tingkat kewaspadaan yang disediakan Al-Qur`an untuk orang-orang beriman. Sejalan dengan rekomendasi-rekomendasi tersebut, setiap keadaan yang tidak disukai atau tidak menguntungkan, kecil ataupun besar, harus dihindarkan sesuai dengan kemampuan orang-orang beriman merancang pembangunan proyek-proyek yang kokoh, tangguh, dan tak tertembuskan oleh sembarang serangan.
Menolak Memberikan Informasi kepada Orang yang Bermaksud Jahat Akan Mengungkap Kelemahan Mereka
Mereka yang memendam benci dan cemburu terhadap orangorang beriman, siap menggunakan setiap peluang untuk memuaskan perasaan-perasaan itu. Oleh sebab itu, insan beriman jangan sekali-kali memberi kesempatan apa pun kepada mereka untuk merancang serangan terselubung.
Allah minta perhatian kita pada masalah ini dengan mengkaitkannya pada kisah Nabi Yusuf a.s.. Saudara-saudara beliau yang seayah berkomplot untuk membunuhnya karena dengki dan cemburu, sebab ayah mereka yang sangat menyayangi Yusuf. Menurut perkiraan mereka, bila Yusuf sudah tiada, kasih sayang ayah akan beralih pada mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka merancang siasat busuk seperti tersebut dalam surah Yusuf, sebagai berikut.
“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, apa sebabnya engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.’ Ya’qub berkata, ‘Sesungguhnya, kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.’” (Yusuf [12]: 11-13)
Sebagaimana kita pahami dari ayat-ayat ini, Nabi Ya’qub a.s. tahu bagaimana perasaan putra-putra beliau terhadap Yusuf a.s. dan tidak menyetujui saran mereka. Dia merasa khawatir kalau-kalau serigala menyerangnya selagi mereka asyik bermain. Saudara-saudaranya, yang akhirnya membawa Yusuf bersama mereka, memasukkan dia ke dalam sebuah sumur, lalu membawa pulang baju yang dilumuri darah palsu untuk diperlihatkan kepada ayah mereka, seraya berkata,
“’... Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba- lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau sekali-kali tidak akan percaya pada kami, meskipun kami adalah orang-orang yang benar.’ Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu….” (Yusuf [12]: 17-18)
Seperti perkabaran ayat-ayat ini, saudara-saudara Nabi Yusuf berusaha membenarkan pengkhianatan mereka dengan memanfaatkan keprihatinan Nabi Ya’qub yang telah beliau ucapkan sebelumnya. Yang dapat kita pahami dari ayat-ayat terkait bahwa kita tidak seharusnya mengikuti kehendak buruk semacam itu dan tipu daya orang-orang pembuat kerusakan yang telah membuka aib mereka sendiri.
Mempertimbangkan Segala Alternatif Seraya Terus Waspada
Acuh tak acuh merupakan predikat unik bagi manusia yang bersikap masa bodoh. Sesungguhnya, dalam kelompok-kelompok masyarakat masa bodoh banyak masalah yang tidak ter-selesaikan, karena manusia-manusianya cenderung tidak peduli. Itu sebabnya orang-orang yang hidup dalam masyarakat masa bodoh selalu menanggung derita sebagai konsekuensi keteledoran dan sikap tidak peduli.
Dalam Al-Qur`an, Allah menegaskan kekeliruan sikap ini dan mendorong orang-orang beriman supaya peduli dengan saksama dalam mengambil beragam tindakan.
Dari ayat berikut, kita pahami bahwa cermat mempertimbangkan segala alternatif merupakan sifat perilaku yang paling tepat,
“Dan Ya’qub berkata, ‘Hai anak-anakku janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu pintu gerbang berbeda; namun, aku tiada dapat melepaskan kalian barang sedikitpun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.’” (Yusuf [12]: 67)
Nabi Ya’qub a.s. menasihatkan putra-putra beliau, waktu mereka hendak pergi ke Mesir, agar memasuki kota melalui sejumlah pintu gerbang. Hal ini benar-benar merupakan satu tindakan bijaksana, karena hal itu menjamin keselamatan jiwa dan harta. Kalaulah mereka masuk lewat satu pintu saja, besar kemungkinan mereka dihadang bahaya. Dengan mengaplikasikan ketinggian ilmu seseorang, yang Allah anugerahkan kepada kemanusiaan agar mereka bisa mempertimbangkan metode terbaik mana hendak dipakai, adalah suatu kebijaksanaan yang terselubung di bawah nasihat ini. Inilah satu sikap bijaksana sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Lebih jauh, peluang seperti ini dengan jelas mengungkap perbedaan antara kebijaksanaan orang beriman dengan keteledoran orang tidak berakal.
Ingatlah, semua tindakan menuju perolehan hasil yang bertahan lama merupakan satu bentuk dari do’a. Sesungguhnya, tak ada rencana atau tindakan, betapapun canggihnya, yang dapat mencegah apa yang sudah Allah takdirkan. Fakta penting ini ada kaitannya dengan nasihat Nabi Ya’qub a.s. kepada putra-putra beliau,
“Dan tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf membawa saudaranya (Bunyamin) ke tempatnya, Yusuf berkata, ‘Sesungguhnya, aku ini adalah saudaramu, maka janganlah kamu berdukacita terhadap apa yang telah mereka kerjakan.’” (Yusuf [12]: 69)
Metode-Metode Qur`ani untuk
Mendakwahkan Islam
Sepanjang kurun sejarah, Allah telah mengutus para rasul silih berganti untuk menyampaikan fakta tentang eksistensi-Nya dan adanya hari akhir secara jelas, dan menyuruh mereka menyembah hanya Dia. Allah memberitahukan kita bahwa para utusan-Nya, beserta orang-orang beriman, sudah dipercayakan dengan tugas ini,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran [3]: 104)
Orang-orang beriman hanya disuruh mempermaklumkan Islam. Maknanya, mereka hendaknya menyampaikan perintah Allah kepada manusia dan menyeru mereka menuju kepada moralitas Al-Qur`an. Allah membimbing dan memberikan pengertian kepada manusia. Dalam hubungan ini, orang-orang beriman diberi kewajiban hanya untuk penggunaan metode-metode yang disebutkan di dalam Al-Qur`an; mereka tidak berkewajiban untuk mempercayainya atau tidak.
Untuk mempermudah tugas mereka, Allah memberi petunjuk kepada orang-orang beriman melalui perintah-perintah yang mudah dimengerti dan terdapat di dalam Al-Qur`an. Tingkah perbuatan para utusan Allah juga jadi contoh untuk umat beriman. Di dalam bab ini, kita akan mengulas metode-metode mendakwahkan pesan itu dan cara mengatasi situasi-situasi yang berubah-ubah dalam melaksanakan tugas mulia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar